Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar "Kepatutan" dan "Kenegarawan" Calon Presiden Indonesia

19 Agustus 2022   13:07 Diperbarui: 19 Agustus 2022   13:13 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potensi kekayaan SDA melimpah berikut keragaman suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) merupakan potret dunia kecil yang bernama Indonesia ini, sejatinya tingkat kesejahteraan rakyatnya bisa melebihi warga dunia dibelahan bumi manapun. Tetapi mengapa dan apa penyebabnya sehingga cita-cita "welfare State" bangsa Indonesia belum terwujud?

Pendapat pakar ekonomi-budaya-politik sering menyebut akibat salah urus, prilaku korupsi berjamaah disegala lini, terpilihnya Presiden hingga Bupati/Walikota berbiaya mahal serta terjerat politik transaksional, praktik oligarki, bahkan proses pesta demokrasi lima tahunan memilih wakil rakyat (pusat hingga daerah) harus diraih para calonnya dengan praktik politik uang (money Politic).

Pada akhirnya, siapapun yang menjadi elite politik (legislative dan eksekutif) hingga pejabat yudikatif (Kejaksaan, Kehakiman, Mahkamah Agung) yang menjalankan amanah tugas dan tanggung jawab kenegaraannya, akan terjebak dan dihadapkan dengan pilihan sulit untuk bisa dan tetap berbuat baik dengan ragam godaan, sehingga tereliminasi dari mayoritas prilaku dan situasi yang ada di lingkungan tempatnya bekerja.

Apakah negeri ini sudah sedemikian rusaknya? Siapa pihak paling bertanggung jawab? Memulai dari mana perbaikannya? Siapa dan bagaimana cara melakukannya? Tentu masih banyak lagi daftar pertanyaan sederhana tetapi relative sulit menjawabnya dengan situasi dan kondisi politik berikut aktor pelakunya yang sudah sama-sama terjerumus dan terjebak dalam sikap dan posisi saling mengunci.

Mengapa? karena "tidak ada yang bisa menjelaskan dengan bahasa dan contoh sederhana" akibat dengan "ditabraknya mekanisme dan sistem politik sesuai peraturan perundangan" yang terkorelasi sesuai teori kausalitas sehingga berimbas secara masif karena dalam praktiknya ada "interkoneksi prilaku dan mentalitas para penguasa dan pemilik modal di setiap level (Pusat hingga Desa)".

Fenomena Negeri Anarki

Paparan kondisi politis di atas bisa mewakili tafsir fenomena Indonesia saat ini yang "sedang dalam situasi anarki". Situasi tanpa ada kepemimpinan dominan yang berkuasa penuh untuk menentukan arah pemerintahan menuju "welfare state yang berkeadilan" dalam praktik pemerintahan yang berlangsung di era reformasi ini, berada dalam posisi tersebar secara merata antara kekuatan politik, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militernya.

Anarki diambil dari kata Yunani anarchos/anarchia yang artinya tanpa pemerintahan. Penganut paham anarkis menurut seorang jurnalis surat kabar radikal, mekanik dan montir listrik, aktivis gerakan rakyat dan buruh dari Italia Errico Malatesta (1853-1932), meyakini bahwa "penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas".

Fenomena per-politik-an Indonesia saat ini seakan relevan dengan "The Theory of Anarcy" dalam buku Abbey, yang mendefinisikan keadaan demokrasi maksimum, situasinya dideskripsikan dengan praktik kekuatan politik, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer tersebar secara merata. Sementara sebaran kekuatannya tidak mengarah menuju cita-cita tercapaianya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, tetapi justru mereduksi prerogatif kepemimpinan eksekutif (Presiden) dalam system presidensial, karena capaian politik semata demi kepentingan eksklusif kekuatan kelompok politik masing-masing.

Istilah anarki sering juga diartikan dengan suatu aksi kekerasan, bahkan cenderung rusuh dan brutal. Apabila ada narasi yang menjelaskan soal demonstrasi yang berakhir anarki berikut suguhkan tindakan pengrusakan dari massa demonstran, yang sejatinya relevan dengan analogi sebagaimana paparan di atas, karena massa demonstran sudah terputus/kehilangan perintah komando dari koordinator aksi di lapangan.

Setidaknya ada "Isme atau akibat dampak Isme tertentu" yang ingin disasar dalam perlawanan para penganut paham anarkis. Satu diantaranya "kapitalisme sebagai biang diskriminasi ekonomi" yang selalu berujung untuk privilege lapisan atas. Kaum anarkis yang mengklaim diri kelompok yang mewakili masyarakat lapisan bawah, meyakini bisa melakukan banyak hal secara independen.

Referensi analogi maupun soal niatan perjuangan penganut paham anarkis diatas, sejatinya bisa ditafsirkan dengan situasi berbagai peristiwa politik dalam negeri yang memaparkan potret perseteruan antar elite politik partai, menjamurnya faksi-faksi politik kaki lima tanpa patron partai politik, apresiasi negative kinerja pemerintah penguasa, hingga potret saling mereduksi antar kelompok sosial dengan klaim paling benar, kritis, rasional, representatif dan nasionalis.

Demo sejuta buruh dengan tuntutan mencabut Omnibus Law, tuntutan massa hingga upaya hukum melalui MK untuk menolak/mencabut Treshold 20 persen, drama pembunuhan antar anggota Polisi yang mengarah praktik mafia dalam elite Kepolisian, kelangkaan dan naiknya harga bahan pokok pangan, hingga prestasi kerja Kejaksaan Agung mensegel beberapa aset milik PT Duta Palma Group (DPG) dan menetapkan tersangka korupsi Surya Darmadi alias Apeng, semuanya itu merupakan gambaran terkini yang akan menjadi pekerjaan rumah Presiden di masa kedepannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun