Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Segelas Kopi dan Sejumput Kisah

22 Mei 2015   05:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_419218" align="aligncenter" width="500" caption="Dok Pribadi"][/caption]


A cup of coffee shared with a friend is happiness tasted and time well spent —Anonymous

Jika ada bahasa yang tak pernah dipelajari oleh pakar linguistik tetapi digunakan dan dipahami secara universal, itu adalah bahasa kopi. Jika ada unggun yang mengumpulkan orang-orang mengitarinya tanpa nyala api, itu adalah kehangatan kopi. Jika ada tebaran kisah yang mengelilinginya dan ia bukan seorang pendongeng, itu adalah magnet bernama kopi.

Bahasa Kopi dipahami oleh berbagai orang, lelaki dan perempuan dari beragam etnis, jenjang usia, dan pendidikan, serta yang terserak di belahan dunia mana pun dalam rentang panjang perjalanan waktu. Sejarah sudah cukup tua mencatat momen-momen ini. Pada 1645, kedai kopi pertama di buka di Italia. Pada 1652, kedai kopi pertama dibuka di Inggris. Pada 1672, kedai kopi pertama dibuka di Paris. Pada 1721, kedai kopi pertama dibuka di Berlin. Hingga kini, kedai kopi terus dibuka di berbagai tempat di belahan dunia. Bahkan dengan mudah menyusup ke rumah-rumah seantero jagat, terutama karena kemudahan penyajian semenjak sebuah perusahaan asal Swiss bernama Nestle, pada tahun 1938 memproduksi kopi sebagai salah satu komoditas dagang dengan merek Nescafe.

Kopi selalu mengumpulkan orang-orang untuk mengelilinginya. Dan di antara mereka, selalu lahir percakapan, selalu ada kisah yang dibagikan. Dalam kebersamaan, kopi ada di antara senyum atau gelak tawa, kesedihan atau binar mata. Dalam kesendirian diri, kopi tak pernah kehilangan akal untuk menghidupkan percakapan dan kisah. Dalam hening, seseorang yang duduk bersama kopi tak akan kuncup dari solilokui—kopi akan menyertai perjalanannya ke dalam diri.

Kopi teramat dekat sebagai sahabat pengiring kelebat imajinasi saat seseorang duduk dan merangkai angan. Para seniman tahu benar akan hal ini. Penulis Prancis abad ke-19, Honoré de Balzac, menjalani rutinitas menulisnya ditemani bercangkir-cangkir kopi hitam. Beethoven tak pernah jauh dari kopi. Filsuf Denmark Søren Kierkegaard, memiliki momen nikmat bersama kopi. Tak kalah, Voltaire seolah tak akan pernah bisa melepaskan diri dari kopi.

[caption id="attachment_419219" align="aligncenter" width="500" caption="Beragam kopi nusantara, kekayaan alam yang unik dan berharga / Dokpri"]

1432246484154685284
1432246484154685284
[/caption]

Kopi telah berjumpa dan memperjumpakan orang-orang penting dalam sejarah umat manusia, tetapi kopi juga bertemu dan mempertemukan orang-orang biasa yang tak pernah tercatat dalam sejarah di mana pun. Orang-orang di kota kecil kelahiran saya, pada setiap siang, selalu berkumpul di sebuah warung kopi terkenal di pusat kota. Secangkir kopi dan penganan akan mengisi perut mereka. Atau, mereka bisa saja mengisi perut di berbagai tempat lain, namun pada akhirnya berlabuh di warung kopi itu. Itu sebabnya, bila seseorang membutuhkan orang lain, mereka tahu benar ke mana harus mencarinya. Di siang yang terik atau basah oleh rintik hujan, mereka mengitari gelas-gelas yang sedang mengepul dan larut dalam percakapan yang hangat.

Kopi tak luput selalu menemani ayah saya dalam berbincang dengan tamu di rumah, pun dalam perjalanannya ke pelosok desa. Perbincangannya dengan penduduk setempat selalu dikawal oleh kopi panas yang diseduh dari air yang didih oleh kayu bakar. Usai berberes kebun dengan tubuh lelah, ia selalu mengumpulkan energi dengan hidangan kopi sebelum menempuh perjalanan pulang menggunakan sepeda motor melalui rute yang melewati perbukitan dan menyeberangi sungai-sungai.

Apa yang saya lihat di sekitar rumah dan kota kelahiran saya, tak berhenti saat saya merantau dan kuliah di pinggiran kota Surabaya. Jika malam berangkat larut dan perut mulai bermusik, kami saling mengetuk pintu kamar dan beramai-ramai pergi ke angkringan tempe gembus dan aneka gorengan. Dalam temaram lampu templek dan semilir angin malam yang menusuk kulit, kopi atau teh panas selalu menjadi teman duduk. Di sana, selalu hadir perbincangan dan gelak tawa, tentang kuliah, dosen, tugas, ibu kos, atau teman-teman perempuan yang ditaksir.

Setelah lulus dan meneruskan langkah di tanah rantau, kehidupan berkopi tak juga asing saya jumpai di kota Yogyakarta. Kopi tumbuh subur dalam kafe-kafe yang nyaman dan artistik maupun tebaran angkringan yang memenuhi trotoar jalanan. Orang-orang duduk di seputar kopi dan bertukar kisah hingga subuh menjelang. Selalu saja ada yang bisa dipercakapkan sembari mencecap kehangatan kopi.

Tak jauh dari Stasiun Tugu, ada Kopi Joss dengan suguhan unik kopi bersahabat dengan arang. Di sini, orang-orang bak serdadu mengalir datang, menyerbu trotoar dan menjadikannya teater tempat bertutur. Berjam-jam dan oleh sekian banyak orang, cerita tak jemu dan tak putus mengitari segelas kopi.

Di utara, di kawasan Jalan Kaliurang atas (setelah Jalan Lingkar, utara Gardu PLN),  terselip sebuah tempat bernama Klinik Kopi. Di sini, di tempat ini, "pasien" domestik hingga mancanegara berjumpa dengan "dokter" untuk berobat rasa mencecap kopi. Di sini, di tempat ini, seorang Pepeng yang mengakui dirinya sebagai Storyteller of Coffee, akan memperkenalkan berbagai kopi nusantara hasil buruannya disertai kisah dan pesona di balik butir-butir kopi koleksinya.

[caption id="attachment_419220" align="aligncenter" width="500" caption="Suasana Klinik Kopi saat masih di kawasan Jalan Affandi, Yogyakarta / Dokpri"]

14322465191979567614
14322465191979567614
[/caption]

Di Klinik Kopi ini, mula-mula orang-orang akan mengerumuni "Sang Dokter" dalam proses "berkonsultasi". Jika pilihan telah diproses dan disajikan di depan mata, orang-orang akan berpindah duduk lesehan di dalam kelompoknya masing-masing dan memulai kisah mereka. Mirip terapi kelompok, tempat ini memberi ruang dan waktu kepada para "pasien" untuk saling "menyembuhkan".

[caption id="attachment_419221" align="aligncenter" width="500" caption="Pengunjung Klinik Kopi saat masih di kawasan Jalan Affandi (Yogyakarta) sedang menikmati hidangannya / Dokpri"]

1432246577368810037
1432246577368810037
[/caption]

Agak bergeser tetapi masih di kawasan utara di Yogyakarta, tak jauh dari bibir Jalan Kaliurang, ada Anomie Coffee. Bukan kafe, bukan pula warung kopi. Namun bagian dari denyut di teras "rumah diskusi dan belajar" bernama Impulse. Di sini kopi bukan komoditas dagang, melainkan undangan, unggun untuk mempertemukan orang-orang dan wacana untuk didiskusikan.

[caption id="attachment_419222" align="aligncenter" width="500" caption="Hadir dan dapatkan buku gratis di Impulse Jogja / Image ini digunakan seizin Impulse."]

14322466331860533922
14322466331860533922
[/caption]

Kelas-kelas rutin dengan berbagai topik dihadirkan di teras ini. Demikian pula dengan pertemuan-pertemuan informal. Keilmuan kental dibagikan di sini, terutama bagaimana menolong mahasiswa strata sarjana hingga tingkat doktoral untuk trampil dan trengginas dalam menyelesaikan studinya.

[caption id="attachment_419223" align="aligncenter" width="400" caption="Salah satu even yang diadakan Impulse Jogja / Image ini digunakan seizin Impulse."]

1432246662136823929
1432246662136823929
[/caption]

Di belahan lain, di Kintamani (Bali) misalnya, bila Anda bersepeda menyusuri dusun-dusun dalam rentang 20-25 km, jangan ragu untuk melabuhkan penat di perkebunan kopi dan kakao.

[caption id="attachment_419224" align="aligncenter" width="500" caption="Sambutan di salah satu lahan perkebunan kopi dan kakao di Kintamani, Bali / Dokpri"]

1432246686377994433
1432246686377994433
[/caption]

[caption id="attachment_419226" align="aligncenter" width="500" caption="Mengusir penat bersepeda dengan hidangan 8 varian kopi di Kintamani, Bali / Dokpri"]

1432246708162947829
1432246708162947829
[/caption]

Masuk di salah satu pelatarannya yang rimbun, Anda akan disapa oleh kandang Luwak (sejenis musang yang memproses hadirnya kopi luwak) dan dihidangkan 8 jenis/varian kopi berbagai rasa untuk dinikmati. Anda akan disambut oleh kehangatan dan aroma kopi yang disangrai, serta tentu saja disuguhi kisah menarik tentang asal-muasal dan pergelutan hidup di sini untuk Anda kantongi sebagai kenangan. Dan berbekal kehangatan yang masih terasa serta aroma yang lekat di indra, Anda dapat melanjutkan perjalanan bersepeda dengan perasaan yang berbeda.

[caption id="attachment_419227" align="aligncenter" width="500" caption="Seorang ibu sedang menyangrai kopi di Kintamani, Bali / Dokpri"]

14322467302044865594
14322467302044865594
[/caption]

* * *

Dalam beragam riwayat, kopi telah menemukan kita dan mempertemukan kita. Dengan diri sendiri dan orang-orang yang kita kenal—sebagian di antara mereka adalah sahabat, orang yang paling karib, dan tentu saja orang yang kita kasihi, yang bersamanya kita berbagi perjalanan hidup. Benar ucap seseorang, “A cup of coffee shared with a friend is happiness tasted and time well spent.”

Selamat mengitari kopi dan memercikkan kehangatan.

@angtekkhun

(Ref: 1, 2)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun