Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jleb! Sujiwo Tejo pun Mendongeng Tentang Kebudayaan Vs TIK

17 September 2016   13:56 Diperbarui: 19 September 2016   10:01 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sujiwo Tejo Mendongeng Tentang Kebudayaan vs TIK

Kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikai (TIK), seolah berdiri di depan dan berlari meninggalkan banyak hal yang telah hadir sebelumnya, termasuk di dalamnya adalah kebudayaan. Bahkan keduanya kerap kali dianggap bertentangan dan saling meniadakan. Kebudayaan seolah 'produk' masa lalu, dan TIK adalah 'produk' masa depan.

Namun, asumsi ini terbantahkan saat panitia Festival CanDoRI TIK 2016 mengundang kehadiran budayawan Sujiwo Tejo untuk mengisi seminar dan talkshow bertajuk 'TIK untuk Pariwisata dan Kebudayaan', Sabtu, 17 September 2016 bertempat di Ghratama Pustaka, Yogyakarta. Bersama dua pembicara lainnya dalam satu sesi, seniman serba bisa diminta bicara khusus mengenai aspek kebudayaan.

Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Di hadapan puluhan relawan TIK dari berbagai perwakilan daerah dan undangan umum, jebolan ITB yang dikenal juga sebagai dalang, penulis, dan pelukis ini tampil cukup atraktif untuk membantah 'dikotomi' ini. 'Kebudayaan' ditariknya pada definisi yang esensial: kebudayaan sebagai kata benda atau sebagai kata kerja.

Jika kebudayaan didefinisikan sebagai kata benda, sangatlah mungkin akan ditinggalkan oleh TIK. Candi Borobudur, wayang, atau terompet, itulah contoh-contoh kebudayaan sebagai kata benda. Namun sangat berbeda bila kebudayaan didefinisikan sebagai kata kerja. Borobudur tidak menjadi sekadar benda, tapi bagaimana rancangan candi seperti itu bisa hadir dan eksis. "Sehingga kalau Borobudur dibom, aku bukan termasuk orang yang menangis," tegas Sujiwo Tejo.

Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Mantan wartawan harian Kompas ini kemudian menguraikan sisi yang berbeda bila Borobudur dipahami sebagai kata kerja, yaitu bagaimana sebuah agama atau budaya tetap eksis meskipun kedatangan agama atau budaya lain. Demikian pula kehadiran terompet dan alat musik lain yang tidak meniadakan yang lama, melainkan memperkuat eksistensi kesenian Betawi bernama Tanjidor.

Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Proses kerja seperti inilah yang disebut kebudayaan. Bukan segala sesuatu yang masuk, ditelan begitu saja tanpa dikunyah. Sayangnya, terlalu sering kebudayaan dilihat sebagai kata benda. Seperti itulah yang berlangsung di birokrasi. Berbeda dengan seniman, yang melihat kebudayaan sebagai sebuah proses. Dengan pemahaman ini, TIK tidak meninggalkan kebudayaan.

Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Sujiwo Tejo in action - Foto: Dok. Pri.
Untuk memberikan contoh konkret, Sujiwo Tejo meminta diputarkan video Ingsun di Youtube. Melalui tayangan ini, audiens diperlihatkan bagaimana TIK berjalan harmonis bahkan sangat membantu karena mampu menggabungkan berbagai cabang seni dalam satu kemasan. Simak deh:


Keseruan acara berlanjut saat Sujiwo Tejo memberikan contoh bagaimana kebudayaan sebagai kata kerja dapat bergandeng harmonis dengan TIK melalui karya Chairil Anwar. Ia mengutip sajak berjudul "Selamat Tinggal":

Aku berkaca
Bukan buat ke pesta

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru-menderu
- dalam hatiku? –
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah…!!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal…

Selamat tinggal…!!!

Sujiwo Tejo mengutip sajak Chairil Anwar - Foto: Dok. Pri.
Sujiwo Tejo mengutip sajak Chairil Anwar - Foto: Dok. Pri.
Puisi sepanjang ini, katanya, tidak akan bisa dimuat di Twitter yang hanya mengakomodasi 140 karakter. Namun, dengan semangat 'kebudayaan sebagai kata kerja', Sutijo Tejo melahirkan puisi Twitter dengan hashtag #talijiwo. Sebagai contoh, ini beberapa karya Sutjiwo Tejo di twitter:

Sepi itu pesta jutaan kata, petasan dan kembang api dari cinta yang tak bersambut, Kekasih... #TaliJiwo

Walau masih melekan, aku bukan pendoa, Kekasih. Aku hanya pekerja malam yang khusyuk menggali lubuk di hatimu #TaliJiwo

Cinta selalu meluap seluas apa pun mangkuk menadahku padamu, Kekasih.. #TaliJiwo

Dengan contoh ini, Sutjiwo Tejo hendak menenteramkan hati siapa pun yang mengkhawatirkan akan terjadi pertentangan antara kebudayaan dan TIK.

Penonton larut dalam acara - Foto: Dok. Pri
Penonton larut dalam acara - Foto: Dok. Pri
Foto bersama - Foto: Dok. Pri
Foto bersama - Foto: Dok. Pri
[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun