Mohon tunggu...
M Khumaedi
M Khumaedi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Keep calm

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

CERPEN : Perjuangan Anak Terakhir (Bontot) Part 1

14 Maret 2020   00:56 Diperbarui: 19 Maret 2020   08:06 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Saya Putra anak terakhir dari tiga bersaudara. Saya terlahir dari keluarga yang sederhana, ayah saya seorang buruh tani dan ibu saya seorang pedagang asongan. Alhamdulillah keluarga saya termasuk keluarga yang cukup, dalam artian pendapatan ayah dan ibu saya hanya cukup untuk makan saja. Kakak saya yang pertama sudah menikh dan memikirkan kehidupannya sendiri, beliau satu-satunya saudara saya yang telah mencapai kesuksesan dan sudah dapat dibilang memiliki segalanya, namun dia tidak memikirkan kedua orang tuanya,  saya dan adik-adiknya yang lain. Kaka saya yang kedua pun sudah menikah dan mengembangkan usahanya sendiri. Dan kaka saya yang ke tiga, dia ini perempuan dan masih sekolah.

            Saya merasa bangga dan ceria setiap hari saat melihat ibu saya tersenyum. Saya selalu mencium tangan ibu ketika akan berangkat ke sekolah dan selalu memberikan senyuman dan semangat untukku. Semuanya berawal dari kelas 1 smp semester dua disaat perekonomian ayah dan ibu saya berada di titik terendah. Pada saat itu saya mulai memikirkan bagaimana cara untuk membantu kedua orang tua saya dan tidak membebani. Saya sempat tidak ingin melanjutkan sekolah karena tidak adanya biaya dan memilih untuk bekerja. Namun sebelum itu terjadi, ada rizki yang tidak diduga-duga yang telah datang menolong saya dalam bentuk beasiswa prestasi dari sekolah. Karena sebelumnya pada pertengahan semester satu saya ditunjuk untuk mengikuti lomba matematika tingkat kabupaten, dan alhamdulillah mendapatkan juara 2. Disitu semangat saya kembali untuk melanjutkan sekolah, karena saya berfikir "sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berilmu dan takan pernah putus untuk mencari ilmu."

Dari situ saya mulai belajar arti kesabaran yang sebenarnya. Saya mulai semangat belajar dan sering mengikuti perlombaan-perlombaan, dan biaya sekolah saya pun di tanggung oleh beasiswa prestasi yang saya miliki. Saat itu saya sudah bisa menabung dari hasil perlombaan. Dan pada saat itu saya melihat bahwa ayah saya terlihat biasa saja saat saya memenangkan pelombaan, rau wajah beliau terlihat datar dan biasa aja melihat saya. Dan yang pastinya saya berikan hasil itu ke kedua orang tua saya, selama 2,5 tahun itu saya tidak mengeluarkan biaya sepeserpun ke sekolah. Saya itu cenderung pendiam dan pemalu duhadapan orang lain sehingga saya itu tidak banyak mempunyai teman, tapi saya lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. 

           Tidak berakhir disitu, masalahpun bertubi-tubi selalu menghampiri langkahku. Karena keluargaku termasuk orang yang berjuang sendiri-sendiri tanpa memikirkan yang lainnya. Saya anak terakhir yang orang lain kira itu enak, segala keinginan selalu diturutin dan selalu dimanja. Namun, semua itu hanya omongan semata di benakku. Saya dituntut untuk mencari jalan kesuksesanku sendiri tanpa adanya dorongan untuk memulainya. Ayah saya bersikap keras pada anak-anaknya, tapi lebih cenderung membiarkan. Hanya kaka perempuan saya yang selalu mendapat perilaku baik. Namun dari semua itu ada sosok yang selalu mendukung dan memberiku semangat untuk meraih kesuksesan, beliau adalah ibu saya tercinta.

           Saya pun melanjutkan pendidikan ke SMK dengan tabungan saya, kenapa saya melilih SMK ? Karena saya harap jika lulusan SMK itu lebih mengutamakan skil keahlian dari pada teori. Dan itu yang saya suka dari SMK. Karena saya sangat menyukai teknologi, saya mengambil jurusan TKJ. Namun pada hari pertama masuk sekolah, saya mendapat kabar di siang hari bahwa ibu saya tertabrak mobil dan tewas di tempat saat menyebrang. Saya syok, dan merasa sangat terpukul. Bulu kuduk saya berdiri, badan seketika kaku dan tak dapat berkata sekatapun. Yang ada dalam benak ku hanya sesosok ibu yang selau memberiku semangat dan menjadi motivator terbaikku. Saya tidak dapat berbuat apa-apa selain menangis sampai tak ada suara. Saya pun bergegas pulang lari sekuat tenaga menemui ibuku. Namun, sesampainya di rumah saya sudah tidak dapat melihat senyuman indah dan tulus miliknya lagi. Saya mencium tangan dan kening ibu, namun sudah terasa dingin dan itulah ciuman terakhirku menghormati dan menyayangi ibu. Lalu saya bergegas mengambil air wudhu dan mendo'akan ibu dengan bercucuran air mata.

 Bersambung...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun