Mohon tunggu...
Muhammad Khozin
Muhammad Khozin Mohon Tunggu... Relawan - seorang anak laki-laki

Tanganku mengetik karena hatiku tak pandai memendam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebesaran Tuhan lewat Gus Mus

13 Juni 2019   14:20 Diperbarui: 13 Juni 2019   14:29 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter.com/fihrilkamal

Ramadan telah usai, bagi 'sebagian orang' bulan ini begitu nikmat. Sering 'sebagian orang ini' mengungkapkannya dengan kalimat 'manisnya bulan Ramadan'. Mereka ini adalah lakon-lakon yang telah matang dari sisi spiritual maupun intelektual. Meskipun fisik mereka sulaya tapi rohaninya bahagia menjalani bulan ramadan. Berbeda dengan sebagian yang lain, -termasuk saya- ramadan usai, terlewat begitu saja. Di awal semangat, di tengah dan di akhir malah kumat. 

Hal ini membuat saya agak depresi meskipun nantinya siklusnya masih akan tetap sama; menyesal-lupa-enjoy-sadar-menyesal dan seterusnya. Begitu terus berulang-ulang. Hal yang bisa mengembalikan ketentraman saya hanya yakin bahwa kebesaran Tuhan itu haq, mencakup segala makhluk hidup, alam semesta dan sudut-sudutnya  yang terabaikan. Kebesaran Tuhan itu tak terhindarkan.

Jika saya mendengar kalimat kebesaran Tuhan, saya akan ingat Gus Mus. Untuk mengisi tulisan apa yang harus saya posting di time line ini juga teringat itu. Maka akhirnya saya kumpulkan kembali memori kebesaran Tuhan yang bertemu sosok Gus Mus yang bertepatan pada hari ulang tahun beliau yang ke-74. Angka ini semoga terus bertambah tapi dengan pelan, agar kami yang memerlukan kebesaran Tuhan ini masih dapat mengambilnya melaluimu, Gus. 

Lepas maghrib saya sampai di Mugassari, Semarang. Khalayak ramai memenuhi jalanan depan panggung acara. Sambil lesehan kita akan mendapati suasana muda-mudi berlalu lalang, tukang penjual alas menawarkan, tukang es berkeliling menjajakan es teh. Sementara acara dimulai kita dimanjakan dengan banyak sekali perhelatan seni dan budaya persembahan dari banyak pihak, kado spesial untuk Gus Mus.

Acara diawali dengan pembacaan doa oleh KH Haris Shodaqoh, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon, Gugen, Semarang. Lalu dilanjutkan dengan sederetan penampilan seni dan testimoni mengenai sosok Gus Mus, Mereka adalah para seniman, budayawan, kiai, jurnalis, santri dan tokoh lain yang hadir khusus untuk Gus Mus. Najwa Shihab, Prie GS, Sosiawan Leak, Joko Pinurbo, Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Thohari dan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihardi, membacakan puisi dan menyampaikan testimoni mengenal sosok Gus Mus. Ada juga Nasirun, pelukis asal Yogyakarta yang melukis di panggung. Tak ketinggalan pula Djoko Susilo, pelukis serta teman karib Gus Mus, menampilkan dokumenter lukisannya yang dirangkum khusus untuk Gus Mus. Hadir juga KH Ahmad Daroji, Ketua MUI Jateng, KH Abdullah Asyik, Ketua MUI Demak, Gus Taj Yasin Maimoen, Wakil Gubernur Jateng.

Bisa anda bayangkan semeriah apa dengan melihat tamu yang hadir. Akan tetapi itu bukan meriah yang sesungguhnya menurut saya. Kemeriahan dan kemewahan sesungguhnya ada di dalam dada Gus Mus. Selama berlangsung seluruh penampilan yang terindikasi pujian dan sanjungan, dari layar saya memperhatikan Gus Mus. Gus Mus banyak diam, melihat, sekaligus seperti tampak haru. Saya sengaja menunggu dan menelisik raut wajah Gus Mus. Apa yang akan dikatakan Gus Mus setelah ini adalah poin. Bagaimanakah seorang yang dianggap matang ini menyikapi bombardir bertubi-tubi berbagai pujian di antara keramaian. 

Gus Mus sesekali tampak menyepi, menyendiri dalam sanubarinya. Bisa jadi mengenang haru Nyai Fatma sang istri yang tak ada disisinya secara lahir atau merasakan apa tentunya saya tidak tahu. Beliau ikut tertawa lebar ketika ada yang lucu, selebihnya menurut saya Gus Mus banyak merenung, menyepi di tengah hingar bingar.

Sampai tiba puncak testimoni yang dahsyat dari Cak Nun, Gus Mus masih menyimak; "Yang kita lihat ini jelas Gus Mus tetapi mustahil hanya itu Gus Mus," katanya. Karena Gus Mus bukan hanya itu, Gus Mus lebih dari itu. Ada Gus Mus yang tampak dan tidak tampak, Gus Mus adalah keluasan sedangkan kita semua adalah kesempitan, mustahil yang ada bersama jamaah adalah Gus Mus yang sejati. Tak mungkin ini Gus Mus yang seutuhnya. Ini pasti hanya sebagian dari samarannya, ini pasti Gus Mus yang hanya sebatas penugasannya. Demi kecerahan bangsa dan hati kita, semoga Gus Mus tetap berada di derajatnya, bersedia membocorkan rahasia-rahasia langit kepada kita semua."

Barulah setelah Sudjiwo Tedjo menembangkan lagu Lullaby Gus Mus diberi kesempatan berbicara. Setelah sekian tenang dalam diam, kalimat Gus Mus nantinya hanya akan mendobrak segala pujian, meruntuhkan jiwa orang lain yang ikut senang dengan pujian yang bahkan tidak ditujukan untuknya menjadi serpihan-serpihan es yang sekali lagi menyejukkan hati. 

Gus Mus dengan terbata mengatakan: "Saya tidaklah sebaik yang dikatakan dan dipikirkan oleh teman-teman sekalian. Saya belajar kepada teman-teman semua," katanya memecah kesunyian.

Menurutnya, manusia sehebat apapun tak sebanding dengan Tuhan Yang Maha Esa. "Kita semua tidak ada apa-apanya dibandingkan kebesaran Allah SWT. Sering kali kita bertakbir Allahu Akbar, tapi sesungguhnya tidak mengenal sama sekali kebesaran-Nya. Lalu Bagaimana kita mau menyenangkan Allah jika kita bahkan tidak mengenal-Nya?"

Setelah kalimat ini semoga pembaca sekalian menemukan kebesaran Tuhan seperti yang saya temukan. Allahu A'lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun