Saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal. Salah satunya biaya di perguruan Tinggi. Walaupun saat ini subsidi pemerintah terhadap pendidikan sangat besar bahkan konstitusi menjamin anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, namun hal itu belum juga mampu untuk menurunkan kekhawatiran.
Biaya operasional perguruan tinggi seperti kegiatan akademik di kampus yang membutuhkan pengelolaan sarana dan prasarana : listrik, air, internet, pengelolaan gedung, gaji dosen, dan karyawan juga meningkat. Belum lagi inflasi yang terjadi saat ini, membuat harga nilai tukar uang semakin lama semakin melemah dan terjadinya kenaikan harga barang dan jasa. Ditambah sederet masalah penambahan fasilitas fisik untuk mendukung perkuliahan. Apalagi biaya untuk riset lapangan dan laboratorium perkuliahan yang membutuhkan biaya yang cukup besar.
Namun karena pentingnya pendidikan, walaupun seberapapun mahalnya, apapun bisa ditempuh. Biaya kuliah yang semakin hari semakin mahal tidak lantas membuat orang yang berkeinginan kuliah menurun. Bahkan, pendaftar SNMPTN dan SBMPTN sampai dengan tes mandiri selalu mengalami kenaikan per tahunnya. Namun semakin banyak orang yang ingin mencicipi “kampus” maka semakin banyak pula orang yang harus “ditolak” karena kapasitas kampus yang sudah tidak mampu lagi untuk menampung.
Alih-alih untuk mengcover kebutuhan akan pendidikan perguruan tinggi maka di mana-mana di bangunlah fasilitas/gedung dalam program pengembangan kampus, entah dalam rangka penambahan fasilitas ataupun penambahan program studi baru. Namun masalah baru muncul, dana pengeluaran akan semakin banyak dengan program pembangunan tersebut, maka semakin naik pula biaya kuliah yang ditangguhkan, apalagi untuk mendapat kampus bermutu, setidaknya harus merogoh kocek belasan, puluhan, hingga ratusan juta.
Asal-Usul Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT)
Dengan semakin bertambahnya kampus yang berdiri, semakin banyak pula subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Maka salah satu solusi dari permasalahan di atas adalah perguruan tinggi dituntut untuk bisa mandiri dalam artian berusaha untuk mencari dana pemasukan sendiri. Oleh karena itu biaya yang dibebankan ke mahasiswa juga meningkat. Permasalahan yang terjadi adalah tidak semua mahasiswa berasal dari golongan yang mampu.
Padahal Disebutkan dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, salah satu asas dari pendidikan tinggi adalah keterjangkauan. Asas keterjangkauan adalah bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya, orang tua atau pihak yang membiayainya untuk menjamin warga negara yang memiliki potensi dan kemampuan akademik memperoleh pendidikan tinggi tanpa hambatan karena permasalahan ekonomi.
Dalam UU No.12 Tahun 2012 mengamanahkan kepada setiap pelaksanaan Pendidikan Tinggi perlu adanya standar biaya pendidikan yang terjangkau bagi mahasiswa dan orang tua mahasiswa sebagi donatur/pembiaya kuliah, hal ini tertuang pada pasal 88 ayat (4): “Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”.
Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menindaklanjuti hal tersebut lahirlah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia.
BKT merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa dihitung per semester pada program studi di PTN. BKT digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa masyarakat dan pemerintah. UKT merupakan sebagian BKT yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya masing-masing. UKT ditetapkan berdasarkan BKT dikurangi biaya yang ditanggung oleh pemerintah.
Dari aturan di atas mengungkapkan bahwa rumusan kebijakan sebagai jawaban dari alternatif kebijakan publik dalam menyelesaikan persoalan di tengah-tengah masyarakat dimana tidak dapat terlepas dari unsur-unsur politik. Kebijakan Uang Kuliah Tunggal juga terlahir dari unsur politik dimana yang membuat kebijakan adalah pemerintah sebagai proses transformasi atau pengubahan input -input politik menjadi output-output politik.