Mohon tunggu...
Kholil Rokhman
Kholil Rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - IG di kholil.kutipan

Manata hati merawat diri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironi di Negeri Subur, Ketika Menjadi Petani Bukan Cita-cita

22 Februari 2020   21:47 Diperbarui: 22 Februari 2020   21:49 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: kompas.com

Pada sebuah lirik salah satu lagunya, Koes Ploes mengungkapkan bahwa tanah kita tanah surga, tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman. Itu seperti gambaran negeri ini, Indonesia tercinta. Wajarnya dengan tanah yang subur, banyak yang ingin memanfaatkannya dengan menjadi petani. Namun, fakta beberapa tahun belakangan, menjadi petani bukan lagi cita-cita anak-anak. Bahkan, orang yang saat ini menjadi petani pun tak berniat mendoakan anaknya menjadi petani.

Suburnya Indonesia tak perlu dijelaskan dengan gamblang. Contoh sederhana saja ketika pohon singkong yang mirip tongkat itu, jika ditancapkan di tanah kita, akan menghasilkan singkong. 

Lihatlah di sela-sela tembok yang rusak, di situ sering ada tanaman yang tumbuh. Negeri ini dilimpahi banyak gunung berapi, yang ketika meletus menjadi musibah, tapi setelahnya akan membuat tanah sangat subur.

Negeri ini dilimpahi banyak aliran sungai sebagai sumber penunjang kehidupan. Dari sungai itu, kemudian air dialirkan ke sawah-sawah.  Bukan hanya subur, tapi negeri kita juga luas. 

Dengan fakta seperti itu, menjadi petani harusnya jadi kebanggaan dan jadi penopang kehidupan ekonomi. Namun, faktanya dari banyak orang yang saya temui, tak ada yang ingin anak mereka menjadi petani padi. Anak-anak pun tak menyiratkan pikiran menjadi petani padi. Sebab, menjadi YouTuber jauh lebih bisa membuat kaya daripada bergelut dengan lumpur di sawah.

Kenapa menjadi petani tak menarik? Karena petani memang tak pernah diuntungkan. Dikutip dari data BPS tahun 2017, satu kilogram gabah seharga Rp 3.960. Sementara, biaya produksi per kilogram gabah adalah Rp 2.926. 

Maka, dalam satu  kilogram  petani untung Rp 1.034. Jika petani memiliki lahan sawah 1 hektare, rata-rata panennya kisaran 6 ton. Satu hektare itu adalah luas yang wah, karena melebihi lapangan sepak bola. Perbandingan saja, 1 hektare setara 10.000 meter persegi. Sementara, luas lapangan sepak bola standar FIFA adalah 7.140 meter persegi.

Jika 1 kilogram untung Rp 1.034, maka 6 ton setara dengan Rp 6, 13 juta. Uang untung Rp 6 juta itu didapatkan dalam waktu proses penanaman sampai panen 3 bulan. Artinya, setiap bulan dirata-rata hasil dari pertanian adalah Rp 2 juta. Keuntungan itu tentu dibagi dengan beberapa orang karena proses pertanian 1 hektare tak bisa dilakukan seorang diri.

Yang mengerikan adalah mereka petani penggarap. Jika keuntungan 1 hektare adalah Rp 2 juta per bulan, berapa pendapatkan dari petani penggarap? Khayalkan saja jika petani penggarap mendapatkan sepertiga dari keuntungan. Artinya hanya mendapatkan Rp 600 ribu sebulan. Mengerikan!

Kemudian berapa biaya hidup? Makan, minum, pulsa, biaya anak sekolah, dan lain-lainnya. Kenapa kemudian menjadi petani, khususnya petani penggarap sangat tak mengenakkan. Maka, wajar jika mereka menginginkan sang anak tak menjadi petani.

Balik ke perbandingan harga gabah dari petani dengan harga beras di pasaran. Harga gabah di petani Rp 3.960. Setelah menjadi beras, di pasaran dihargai Rp 11.000. Bayangkan, naik nyaris tiga kali lipat. Lalu siapa yang lebih untung dalam tata niaga beras ini? Tentu bukan petani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun