Pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia menjadi isu strategis dalam menjaga kedaulatan bangsa dan identitas nasional. Dengan diterapkannya Permen Dikdasmen No. 2 Tahun 2025 tentang "Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia", upaya untuk menjamin pengutamaan Bahasa Indonesia di ruang publik kembali ditekankan.
Namun, meski regulasi telah ditetapkan, implementasi pengawasan di lapangan menghadapi beragam problematika dan dilema, terutama di tingkat pemerintah daerah dan dalam konteks era digital yang didominasi teks multimodal.
Â
Ihwal  Pengawasan
Pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia bertujuan untuk menjaga kedaulatan bahasa sebagai salah satu simbol negara, meningkatkan mutu dan kedisiplinan berbahasa, serta meminimalisasi kesalahan dalam penggunaannya. Objek pengawasan mencakup bahasa dalam lanskap publik seperti nama geografi, nama bangunan, nama lembaga, spanduk, serta dokumen resmi termasuk pidato, nota kesepahaman, dan komunikasi kerja di lingkungan pemerintahan maupun swasta.
Dengan pengutamaan Bahasa Indonesia, diharapkan masyarakat memiliki kebanggaan dan kesadaran yang lebih tinggi terhadap kaidah berbahasa Indonesia, sehingga keberadaan bahasa persatuan ini tetap menjadi identitas bangsa di tengah betotan  globalisasi yang semakin mendominasi.
Â
Problematika ImplementasiÂ
Namun, pengawasan ini menghadapi berbagai tantangan, khususnya pada tingkat pemerintah daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa dilema utama yang muncul meliput sejumlah hal berikut.
Pertama, Ketiadaan Sanksi yang Tegas. Â Dalam pedoman tersebut, pemerintah tidak menetapkan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan penggunaan Bahasa Indonesia. Hal ini bisa membuat regulasi tampak kurang memiliki daya paksa. Sebaliknya, pemerintah hanya memberikan penghargaan kepada pihak yang memenuhi kriteria mutu berbahasa. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan sanksi yang tegas, efektivitas peraturan ini menjadi diragukan.