Di panggung politik, di mana drama kekuasaan dimainkan tanpa akhir, konspirasi adalah aktor yang tak pernah absen. Ia hadir bagai bayangan yang meliuk di balik layer. Tak terlihat namun terasa. Menggerakkan plot tanpa pernah menyentuh tirai panggung secara langsung.
Konspirasi, dalam konteks ini, menjelma menjadi 'makhluk' yang tak hanya mengintip dari balik jendela sejarah, tetapi juga menyusup ke jantung perjuangan politik dan perebutan kekuasaan.
Politik adalah ladang yang subur bagi konspirasi untuk tumbuh. Di sana, ia menemukan lahan penuh dengan ketidakpastian, persaingan, dan ambisi. Saat kekuasaan menjadi tujuan yang diperebutkan, konspirasi muncul sebagai senjata, kadang terbuat dari bisikan rahasia, kadang dari cerita yang direka dengan apik.
Dalam konspirasi, ada narasi yang memposisikan segelintir aktor sebagai pengendali takdir orang banyak. Ia juga memunculkan imaji bahwa apa yang terjadi di permukaan hanyalah cangkang kosong dari kebenaran yang lebih dalam.
Dalam perebutan kekuasaan, dalam ranah apapun dan di manapun, termasuk pada institusi  keilmuan penjaga moralitas dan keadaban seperti halnya pemilihan seorang rektor, dekan, dan pejabat kampus lainnya, konspirasi sering kali menjadi alat untuk mengaburkan fakta dan memutarbalikkan realitas. Makhluk ini beroperasi melalui manipulasi persepsi, memanfaatkan ketidakpercayaan terhadap institusi atau individu.
Ia memprovokasi pertanyaan yang tak berujung: siapa yang bersekongkol? Siapa yang diuntungkan? Siapa yang dikorbankan? Di tengah kebisingan pertanyaan ini, ia memelihara ketegangan, menciptakan atmosfer yang cocok untuk ambisi-ambisi politik berjalan tanpa hambatan.
Namun, konspirasi bukan hanya alat; ia adalah refleksi dari psikologi politik. Ketika masyarakat menghadapi kondisi ketidakpastian atau krisis, kebutuhan akan penjelasan menjadi mendesak. Konspirasi hadir sebagai jawaban sederhana atas kompleksitas politik, menawarkan narasi yang, meskipun sering kali tidak terverifikasi, memberikan rasa kontrol dan kepastian. Ia mengisi kekosongan pengetahuan dengan dugaan, sering kali mendistorsi fakta demi memenuhi kebutuhan emosional akan kejelasan.
Makhluk ini juga memiliki sisi gelapnya yang berbahaya. Dalam konteks perebutan kekuasaan, konspirasi dapat digunakan untuk membenarkan tindakan yang tidak etis bahkan represif. Ia dapat menjadi alasan untuk menggulingkan lawan politik, menciptakan propaganda, atau bahkan memicu konflik sosial.
Di tangan mereka yang ambisius, konspirasi dapat berubah menjadi senjata tajam yang tidak hanya melukai individu, tetapi juga mengguncang fondasi Masyarakat. Namun, meskipun konspirasi sering kali menjadi alat manipulasi, ia juga dapat memantik kesadaran akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam politik.
Kehadirannya memaksa kita untuk mempertanyakan narasi resmi, untuk menggali lebih dalam, dan untuk tidak menerima kenyataan begitu saja. Meskipun demikian, tantangan terbesar adalah membedakan antara pertanyaan yang sah dengan jebakan yang ditanam oleh makhluk bernama 'konspirasi' ini.