Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti untuk mengembalikan sistem penjurusan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) mulai tahun 2025 menimbulkan perdebatan publik. Melalui kebijakan ini, siswa akan kembali diarahkan untuk memilih jurusan IPA, IPS, atau Bahasa sejak awal masuk SMA, dan proses penjurusan tersebut akan dilakukan melalui Tes Kompetensi Akademik (TKA) sesuai rumpun ilmu masing-masing.
Meskipun kebijakan ini tampak menjanjikan kepastian jalur pendidikan sejak dini, pada kenyataannya langkah ini berpotensi menjadi kemunduran dalam konteks pendidikan modern yang tengah bergerak menuju pendekatan multidisipliner.
Â
Pendidikan Global  ke Arah Multidisiplin
Di berbagai negara maju, sistem pendidikan terus mengalami transformasi menuju model yang lebih terbuka dan integratif. Tantangan zaman yang semakin kompleks tidak lagi bisa diselesaikan melalui satu bidang ilmu saja. Dunia saat ini membutuhkan individu yang mampu berpikir lintas disiplin, menggabungkan wawasan dari berbagai bidang untuk menciptakan solusi yang inovatif dan relevan.
Sebagai contoh, nanoteknologi bukan hanya mencakup fisika dan kimia, tetapi juga beririsan dengan biologi, ilmu material, bahkan kedokteran dalam pengembangan obat dan alat kesehatan. Di sisi lain, keamanan siber menuntut integrasi antara teknologi informasi, hukum, psikologi, dan ekonomi, karena serangan digital tidak hanya berdampak teknis tetapi juga sosial dan finansial. Teknik industri pun memerlukan kolaborasi antara matematika, manajemen bisnis, psikologi kerja, dan sistem informasi untuk menciptakan efisiensi dan produktivitas yang optimal.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa batas antara disiplin ilmu kian kabur. Maka, dunia pendidikan---terutama di tingkat SMA---seharusnya menjadi ruang eksplorasi awal terhadap berbagai bidang, bukan justru mempersempitnya lewat sistem penjurusan yang terlalu dini.
Polarisasi Ilmu dan Reduksi Wawasan
Kembalinya sistem penjurusan di SMA berisiko memicu polarisasi keilmuan di kalangan siswa. Mereka yang memilih jurusan IPA cenderung akan dijejali dengan mata pelajaran eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi, tetapi bisa saja minim pemahaman tentang dinamika sosial, ekonomi, dan politik. Akibatnya, bisa muncul generasi ilmuwan yang unggul secara teknis namun rendah empati sosial atau tidak memahami konteks kebijakan publik.
Sebaliknya, siswa jurusan IPS mungkin dibekali dengan teori-teori sosial dan ekonomi, tetapi kurang menguasai dasar-dasar ilmu sains dan teknologi. Padahal, banyak persoalan modern seperti perubahan iklim, teknologi kecerdasan buatan, hingga transformasi ekonomi digital memerlukan pemahaman sains yang memadai. Dalam dunia nyata, pemisahan tegas antara "orang eksakta" dan "orang sosial" sudah tidak lagi relevan.