Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartini dan Perjalanan Menuju Cahaya

19 April 2025   12:03 Diperbarui: 19 April 2025   12:03 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://retizen.republika.co.id/posts/11219/kartini-gelap-dan-cahaya

                                                                                                   Cover buku kartini pada naskah aslinya

Door Duisternis tot Licht, yang berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" adalah karya monumental berupa kumpulan surat Raden Adjeng Kartini. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1911 oleh J.H. Abendanon, buku ini mengumpulkan surat-surat Kartini kepada teman-teman pena di Eropa. Beberapa di antaranya adalah Estella Zeehandelaar, feminis Belanda, dan Rosa Abendanon, sahabat yang menjadi tempat Kartini berbagi ide dan cita-citanya.

Pada tahun 1922, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh kelompok yang dikenal sebagai Empat Saudara---Bagindo Dahlan Abdullah, Zainudin Rasad, Sutan Muhammad Zain, dan Djamaloedin Rasad. Diterbitkan oleh Balai Pustaka, terjemahan ini diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Meski tidak menerjemahkan langsung dari versi aslinya, judul ini menawarkan idiom yang khas dan beresonansi kuat dengan pembaca lokal.

Isi buku ini memuat pemikiran kritis Kartini tentang berbagai isu sosial, termasuk pentingnya pendidikan untuk perempuan, tekanan tradisi feodal, pernikahan paksa, dan poligami yang dianggap menindas perempuan Jawa. Melalui tulisan-tulisannya, Kartini menyerukan pentingnya pendidikan sebagai alat pembebasan dan pencerahan masyarakat, khususnya bagi perempuan.

Namun, penerjemahan Door Duisternis tot Licht menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang menunjukkan pergeseran semantik dan logika kausalitas. Versi asli menyoroti perjalanan transformasi dari kegelapan menuju cahaya, dengan kegelapan sebagai permulaan dan cahaya sebagai tujuan akhir. Di sisi lain, versi terjemahan Melayu menggambarkan kepastian bahwa "gelap" benar-benar berakhir (habis) dan "terang" muncul (terbitlah). Logika ini memberi kesan optimisme yang lebih definitif, berbeda dari narasi perjalanan bertahap yang diusung judul aslinya.

Perbedaan ini bukan hanya soal bahasa, tetapi juga menunjukkan cara pandang yang berbeda terhadap perubahan. Versi Belanda menekankan usaha dan proses transformasi, sedangkan versi Melayu lebih menonjolkan finalitas dan kelahiran harapan baru. Namun, penerjemahan ini juga sedikit mengaburkan pengaruh spiritual Kartini sebagai seorang Muslimah yang memahami nilai-nilai Al-Quran.

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa Kartini sempat belajar Al-Quran di bawah bimbingan Kiyai Soleh Darat. Kiyai Soleh Darat sendiri adalah ulama besar yang mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang, pada akhir abad ke-19. Pesantren ini menjadi pusat ilmu agama dan tempat Kiyai Soleh Darat melahirkan karya-karya besar, termasuk Kitab Faidur Rahman, tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa dengan aksara Pegon, yang membantu masyarakat Jawa memahami isi Al-Quran. Kyai Sholeh Darat juga  merupakan guru dari dua ulama besar pendiri dua Ormas besar: KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asyari (pendiri NU). 

Salah satu ayat yang dipelajari Kartini dari Kiyai Soleh Darat adalah ayat dengan frasa "fii dzulumati ila nuur" (dari kegelapan menuju cahaya). Frasa ini dalam bahasa Belanda diterjemahkan menjadi Door Duisternis tot Licht dan sering muncul dalam surat-surat Kartini. Ia menggunakan frasa ini untuk menggambarkan penderitaan masyarakat Jawa, khususnya perempuan, yang berada dalam kondisi dzulumati (kegelapan) dan harapannya menuju nuur (cahaya) melalui pendidikan.

Meskipun Kartini tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa frasa tersebut berasal dari Al-Quran, penggunaannya mencerminkan internalisasi nilai-nilai spiritual Islam yang memperkuat pandangan progresifnya. Ayat-ayat seperti Surat Al-Baqarah ayat 257 dan Surat Ibrahim ayat 1 menggambarkan transisi dari kegelapan ke cahaya iman dan kebenaran, simbol yang sangat relevan dengan perjuangan Kartini.

Kartini tidak hanya berjuang di ranah sosial dan pendidikan, tetapi juga menunjukkan pemahaman spiritual yang mendalam. Kendati dalam banyak foto yang beredar Kartini tidak mengenakan busana Muslim atau kerudung, hal ini tidak mengurangi kedalaman spiritualnya sebagai seorang Muslimah. Ia mampu mengintegrasikan ajaran agama dengan perjuangan emansipasi perempuan, menjadikannya simbol perpaduan antara agama, intelektualisme, dan perubahan sosial yang progresif. Kartini adalah inspirasi nyata bagaimana nilai-nilai Islam dapat mendorong perubahan yang relevan dan bermakna.**

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun