Mohon tunggu...
Khoiru Roja Insani
Khoiru Roja Insani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha produktif dalam keterbatasan

Pemuda asal Yogyakarta yang gemar ke sana-ke mari. Ajak saja pergi, pasti langsung tancap gas! Senang berdiskusi mengenai berbagai hal, senang bepergian, dan senang mengabadikan momen melalui kamera untuk diunggah di akun instagram. Ajak saja nongkrong atau bermain, pasti bisa mengenal lebih dekat lagi!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

PPKM: Jerit dan Tangisan Pedagang Pinggiran

7 Juli 2021   20:51 Diperbarui: 7 Juli 2021   20:56 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung pecel lele (kompasiana via merdeka.com)

Lagi, lagi, dan lagi kisah lama terulang kembali. Setelah PSBB kemudian kali ini PPKM darurat, lagi-lagi pedagang yang selalu dirugikan. Tidak sedikit beredar video yang menunjukkan petugal Satpol PP sedang melakukan aksi penutupan, penyemprotan -- dengan water cannon, dan penggeledahan warung dengan paksa demi melaksanakan kebijakan PPKM.

Kasus, kisah, dan postingan tentang konflik horizontal -- antara aparat dengan masyarakat -- sudah sangat sering terjadi, padahal tidak semestinya konflik tersebut terjadi, sebab masyarakat dengan aparat adalah sama-sama sebagai pelaku kebijakan.

Kebijakan PPKM sangat dirasakan oleh pedagang pinggiran jalan, salah satunya pecel lele. Hampir setiap malam saya membeli lauk di warung pecel lele. Sebagai pelanggan yang sudah sering datang, sang penjual tanpa disuruh bercerita dengan sendirinya pada saya. "Kemarin didatengin sama Satpol PP, langsung disuruh tutup, lha kalau jam 8 malam disuruh tutup, ya gabisa dapet duit," ujarnya.

Keluhan seperti itu sudah tak asing lagi di telinga kita sejak kebijakan PSBB -- kali ini PPKM -- digaungkan. Keluh-kesah tentang kebijakan penutupan (baca: paksa) warung makan pada pukul 20.00 memang sangatlah bias, tak berperikeadilan, dan berat sebelah.

Memang, dengan adanya kebijakan penutupan warung makan bisa sedikit banyak mencegah kerumunan. Akan tetapi, dengan penutupan secara paksa, bahkan ada yang disemprot air hingga dirubuhkan warungnya adalah sebuah perilaku berperikamanusiaan?

Aturan memang harus ditegakkan demi memutus laju penyebaran virus korona. Kita semua sudah tak tertahankan lagi dengan adanya virus yang makin hari makin tak karuan ini. Akan tetapi, setiap kebijakan pun harus ditinjau dengan tingkat efektivitas dan efek serta dampaknya pada masyarakat selaku pelaku dari kebijakan itu sendiri. Contoh konkretnya adalah warung pecel lele yang saya kunjungi.

Berjualan pecel lele menjadi satu-satunya mata pencaharian. Warungnya pun hanya ramai pada saat malam hari -- jam 7 malam ke atas. Lalu, jika pukul 8 malam sudah -- harus -- ditutup, bagaimana ia bisa mendapatkan pemasukan?

Sungghuh dilematis memang, tetapi melihat pada faktanya banyak sekali masyarakat Indonesia yang lebih mementingkan besok bisa makan apa daripada besok sehat atau tidak, harus menjadi petimbangan yang mendasar dan cukup kuat untuk kebijakan-kebijakan yang akan dibuat.

Kita juga tidak bisa menyalahakan sepenuhnya atas kearogansian aparat -- Satpol PP -- sebagai pelaksana perintah. Kita juga tidak bisa menyalahkan masyarakat yang terpaksa masih harus berjualan dan mengeluhkan kebijakan penutupan warung pada pukul 8 malam. Sebab, semua memang menjadi hakekat dan titahnya masing-masing. Satu sisi sebagai pelaksana perintah dan satu sisi menjadi mata pencaharian demi menyambung hidup.

Muara pada segala problematika yang sangat dilematis ini memang ada pada pemerintah, selaku pembuat kebijakan. Suara, tulisan, keluha, dan semacam ini memang tidak asing dan sudah sering kita baca dan dengarkan -- sejak PSBB. Namun, pada kenyataannya tetap saja aturan ini dilaksanakan lagi dan lagi.

Sebagai warga sipil yang harus (baca: terpaksa) mematuhi aturan, kebijakan PKKM darrat ini pun juga cukup mengiris hati. Melihat pemilik warung harus kejar-kejaran, adu urat, bahkan adu jotos dengan aparat -- Satpol PP. Selalu saja konflik horizontal antara pelaksana perintah dengan warga sipil yang terjadi.

Akhir kata, semoga aparat -- Satpol PP -- sedikit lebih memberi perhatian pada masyarakat yang masih harus terpaksa membuka warungnya pada kondisi pandemi seperti ini. Entah dengan cara yang lebih preventif, lebih bersosialisasi, atau dengan cara apa pun itu yang menghindari benturan antar sesama warga. Dan begitu juga dengan pemangku kebijakan, besar harapan untuk membuat aturan yang memperhatikan segala aspek, baik ekonomi, kesehatan, pendidikan, juga sosial dan budaya. Sebab, segalanya saling berkelindan satu sama lain dan tidak terpisahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun