Mohon tunggu...
khoirul khabibi
khoirul khabibi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Elektro UGM Wakil Ketua Divisi Riset Kelistrikan Dewan Energi Mahasiswa UGM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya Edukasi Mitigasi Bencana Sejak Dini

30 Desember 2018   13:59 Diperbarui: 30 Desember 2018   14:01 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada penghujung akhir tahun 2018, Indonesia kembali dibuat berduka. Tsunami terjadi secara tiba-tiba di beberapa pantai di Selat Sunda tanpa gempa sebelumnya, dan tanpa tanda-tanda yang lazim muncul saat akan terjadinya tsunami. Banyaknya korban jiwa disebabkan banyak wisatawan yang berada di dekat bibir pantai saat tsunami terjadi. 

Tanggal 22 Desember 208, tepat pukul 21.30, di Pantai Tanjung Lesung (salah satu pantai yang terkena tsunami, -red), berlangsung penampilan band Seventeen yang sedang memeriahkan acara gathering PLN. Berdasarkan video yang sempat viral, kejadian berlangsung saat baru lagu kedua Seventeen menghibur penonton. Air pasang naik ke permukaan dan menyeret seluruh orang yang ada di lokasi

Akan tetapi, siaran pers awal dari BMKG dan BNPB sempat menyatakan bahwa kejadian tersebut bukanlah tsunami melainkan gelombang pasang air laut akibat bulan purnama. Keterangan tersebut diperkuat dengan laporan BMKG mengenai tidak adanya gempa besar yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda maupun Samudera Hindia. Hingga kemudian pernyataan tersebut diralat bahwa memang telah terjadi tsunami yang disebabkan dua fenomena, terjadinya gelombang pasang serta longsornya material Gunung Anak Krakatau akibat erupsi.

Bulan September di tahun yang sama, gempa besar dengan kekuatan 7,4 SR mengguncang Palu. Pusat gempa bumi (episentrum) berada di darat, sekitar Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala. Guncangan gempa bumi ini dilaporkan telah dirasakan cukup kuat di sebagian besar provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan sebagian Kalimantan Timur serta Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Gempa tersebut memicu terjadinya gelombang tsunami setinggi 5 meter yang melanda Pantai Barat Sulawesi. Bahkan yang lebih mengerikan, setelah gempa, terjadi peristiwa likuifikasi (pencairan tanah) yang memakan banyak korban jiwa dan material.

Kejadian bencana bukan sekali dua kali saja melanda Indonesia, menurut data BNPB (Badan Nasional Penanggunalan Bencana) selama tahun 2018 telah terjadi sekitar 1.999 bencana alam. Dampak yang ditimbulkan bencana dilaporkan sangat besar. Tercatat 3.548 orang meninggal dunia dan hilang, 13.112 orang luka-luka, 3,06 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana, 339.969 rumah rusak berat, 7.810 rumah rusak sedang, 20.608 rumah rusak ringan, dan ribuan fasilitas umum rusak.
Posisi Indonesia dan Kaitannya dengan Bencana

Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia disebabkan karena letak wilayah Indonesia. Ada 3 lempeng tektonik besar dunia yang mengepung Indonesia, Lempeng Indo-Australian, Eurasia dan Lempeng Pasifik. Tumbukan dari lempeng tersebut berpontensi menyebabkan terjadinya gempa bumi, longsor, likuifikasi bahkan tsunami.  Selain itu, Indonesia juga dilalui jalur Pacific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik) yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif dunia. Jumlah gunung api di Indonesia sendiri sekitar 240 buah, dimana 70 diantaranya masih aktif. Hal ini yang menyebabkan sering terjadinya bencana erupsi gunung berapi di Indonesia

Edukasi Mitigasi Bencana

Potensi bencana Indonesia yang sangat besar setiap tahunnya tentu harus kita sikapi dengan serius. Dengan posisi Indonesia yang sedemikian rupa menyebabkan bencana bukanlah hal yang asing di negara kita. 

Bencana alam merupakan sebuah proses alam yang tidak bisa dihentikan oleh tangan manusia. Kita hanya bisa mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana. Oleh karena itu, edukasi terhadap mitigasi bencana harus menjadi prioritas pemerintah. Bukan hanya fokus pada penanganan pasca-bencana. Karena ketika fokus pada penanganan setelah terjadinya bencana, maka berapa banyak korban yang timbul baik dari segi korban jiwa maupun materil. Tentu biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar Belum lagi proses penyembuhan trauma (trauma healing) bagi korban bencana yang bisa memakan waktu sangat lama.

Pemberian edukasi kepada masyarakat dengan potensi bencana harus jadi fokus utama pemerintah. Mengingat selama ini banyak sekali korban yang timbul akibat terjadinya bencana di Indonesia. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai misalnya, harus diberikan edukasi manakala terjadi gempa bumi, atau tsunami. Apa yang harus dilakukan, bagaimana cara menyelamatkan diri hingga kemana harus menyelamatkan diri harus dipahami oleh masyarakat. Pendidikan mitigasi bencana juga harusnya sudah diajarkan sejak dini melalui institusi formal sekolah maupun institusi non-fomal. Dengan harapan masyarakat menjadi tanggap dan terlatih menghadapi resiko bencana manakala terjadi.

Beberapa negara dengan potensi bencana yang cukup tinggi seperti Jepang dan Filipina bahkan memasukkan materi mitigasi bencana pada kurikulum sekolah. Begitu juga dengan beberapa kampus di China yang memberikan pelatihan dan penyuluhan keselamatan bencana saat permulaan tahun ajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun