Pak Bijak tersenyum hangat.
"Bingung itu wajar. Tapi jangan berhenti di bingung. Mulailah dengan langkah kecil. Apa saja yang bisa kau lakukan sekarang? Bertani? Beternak? Atau usaha kecil di rumah? Tidak harus besar, yang penting bergerak. Karena roda tidak akan berputar kalau sepeda diam."
Suasana mulai cair. Beberapa tetangga ikut memberi ide: ada yang menawarkan lahan untuk ditanami sayuran, ada yang bersedia membeli hasil ternak bila Pak Darma mau memulai.
Pak Darma menatap mereka, lalu menatap Pak Bijak. Mata yang tadi redup kini mulai memantulkan cahaya. "Mungkin benar, Bijak. Roda harus tetap berputar. Kalau saya diam, saya akan selamanya di bawah."
Pak Bijak menepuk bahunya sekali lagi.
"Itu semangatnya, Darma. Ingat, yang penting bukan posisi kita sekarang, tapi bagaimana kita menyikapi perubahan posisi itu. Hidup ini soal keteguhan hati, bukan soal berapa kali kita jatuh."
Matahari sore mulai condong ke barat. Cahaya jingga menembus sela-sela dedaunan, seolah memberi harapan baru.
Pak Darma berdiri, menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara lebih mantap, "Terima kasih, Bijak. Kata-katamu membuatku ingat, roda memang harus tetap berputar. Aku akan coba bangkit lagi."
Pak Bijak tersenyum, menatap langit jingga. Dalam hati ia bergumam:
"Beginilah hidup. Roda nasib terus berputar. Tugas kita bukan mengendalikan putarannya, tapi menjaga agar roda itu tetap membawa kita maju."
Episode 7 menutup dengan pesan: hidup selalu berputar seperti roda. Yang penting bukan di mana posisi kita, tapi bagaimana kita tetap bergerak maju meski berada di bawah.
BERSAMBUNG ke Episode 8 -- Mimpilogi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI