OLEH: Khoeri Abdul Muid
Episode 7 -- Roda Nasib
Siang itu udara desa terasa panas menyengat. Angin kering bertiup membawa debu jalanan. Pak Bijak baru saja pulang dari sekolah ketika mendengar suara gaduh di rumah tetangganya, Pak Darma.
Di depan rumah panggung sederhana itu, Pak Darma duduk lemas di kursi bambu. Wajahnya muram, matanya merah karena habis menangis. Istrinya sibuk menenangkan, sementara beberapa tetangga berdiri di sekitar, ikut prihatin.
"Ada apa, Pak Darma?" tanya Pak Bijak pelan, menghampiri.
Dengan suara berat, Pak Darma menjawab, "Saya baru saja diberhentikan dari pabrik, Pak Bijak. Katanya efisiensi. Padahal saya sudah belasan tahun kerja di sana. Sekarang saya bingung... anak-anak masih sekolah, cicilan belum lunas. Rasanya dunia runtuh."
Tetangga lain ikut menimpali.
"Memang susah sekarang... kerjaan makin sedikit, harga-harga naik."
"Kasihan Pak Darma, padahal rajin."
Pak Bijak duduk di sampingnya. Ia menepuk bahu sahabatnya itu dengan tenang.
"Darma, kau tahu roda sepeda, kan?"
Pak Darma mengangguk pelan.
"Kalau roda itu berputar, kadang ada di atas, kadang di bawah. Begitu juga nasib manusia. Tidak ada yang selamanya di atas, dan tidak ada pula yang selamanya di bawah. Yang penting, bagaimana kita menjaga keseimbangan agar sepeda tetap berjalan."
Pak Darma menunduk, mencoba mencerna.
Pak Bijak melanjutkan, suaranya penuh keyakinan.
"Waktu kau di atas, jangan sombong. Saat di bawah, jangan putus asa. Ingat, saat roda menyentuh tanah, justru saat itulah ia punya daya dorong untuk berputar naik lagi. Maka jadikan masa sulit ini sebagai momentum untuk bangkit, bukan menyerah."
Istri Pak Darma mengusap air mata. "Tapi kami benar-benar bingung harus mulai dari mana, Pak..."