OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di lereng selatan Gunung Murya, berdiri sebuah perguruan yang sunyi tapi penuh cahaya: Perguruan Budi Luhur. Di tempat itu, orang-orang datang untuk belajar bukan dari buku, tetapi dari kehidupan itu sendiri.
Pengasuhnya adalah seorang pertapa berhati bening, bernama Guru Wimala, yang oleh murid-muridnya dipanggil dengan lembut: Bapa Guru.
Guru Wimala dibantu oleh para pengurus yang setia: Uluguntung si pencari kayu, Cekel si penggarap sawah, Manguyu penabuh genta, Putut penjaga keamanan, dan Janggan si juru tulis. Masing-masing punya tugas, dan masing-masing punya cara memaknai hidup.
Suatu malam, usai makan malam sederhana, Guru Wimala mengundang mereka berkumpul di Balai Pertemuan. Lampu minyak menggantung di tengah ruangan, memancarkan cahaya kuning yang temaram seperti mata yang sedang merenung.
Mereka duduk bersila. Diam. Menanti. Hanya suara serangga malam menemani.
"Ada apa kita dikumpulkan malam-malam begini?" bisik Cekel.
"Pasti ada yang penting," sahut Uluguntung perlahan.
"Agar tak tegang, ayo main tebak-tebakan," usul Manguyu ringan.
Cekel tertawa kecil. "Oke. Coba tebak: apa yang paling besar di dunia ini?"
Uluguntung menyeringai. "Ah, itu tebakan anak-anak! Tapi, baiklah... jawabannya: gajah!"