OLEH: Khoeri Abdul Muid
Siang itu, Ki Gedhe Kemiri duduk termenung sendirian di gazebo taman rumahnya. Tatapannya kosong, senyumnya datang dan pergi. Kadang serius, lalu berganti mesem-mesem sendiri.
"Aneh!" gumamnya pelan. Pikiran Ki Gedhe melayang. Entah mengapa, ia membayangkan sedang berduaan dengan Suli, gadis yang diam-diam sering diidamkan.
"Suli, cantik," bisiknya. "Tahukah kamu, setelah kita mengarungi samudra asmara ini, rasanya seperti kenyang tanpa makan, segar tanpa minum. Tapi, Suli, haus jiwaku tak terpuaskan hanya dengan ini saja. Kita harus lebih dari sekadar begini, Cantik!" ucap Ki Gedhe penuh ambisi.
"Lalu, mau apa lagi, Ki?" tanya Suli, manja dalam imajinasinya.
"Kalau aku ini kumbang, aku harus bisa menikmati sari bungamu. Tidak cukup hanya memandangi, apalagi sekadar menyentuh. Ayo, Cantik, ikut aku ke peraduan!" ujar Ki Gedhe bersemangat, matanya membayangkan Suli di depan mata.
Namun, bayangan Suli menjauh. "Ah, jangan begitu, Ki. Bersabarlah. Nanti saja, setelah ijab kabul," jawab Suli menolak.
"Hhh, Suli! Sekarang milik siapa, besok juga tetap milikku. Sudah, ayo!" Ki Gedhe mendekatkan tangannya, seolah ingin menggapai.
Tiba-tiba...
"Suliii!" teriaknya keras.