OLEH: Khoeri Abdul Muid
Suara angin menerpa puing-puing yang berserakan di kota Tokyo. Gedung-gedung yang dulunya megah kini tinggal kerangka, sementara orang-orang berjalan tanpa arah, membawa sisa-sisa harapan di punggung mereka. Di tengah kehancuran Jepang pasca-bom Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Hirohito mengumpulkan para penasihatnya di ruang sidang Kekaisaran.
Suasana tegang. Para menteri saling berbisik, membayangkan perintah seperti mengerahkan sisa tentara atau mencari cara memperkuat kas negara. Tetapi, pertanyaan pertama Kaisar membuat semua terdiam.
“Berapa banyak guru yang masih tersisa?”
Menteri Pertahanan mengangkat alisnya, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Yang Mulia, saat ini kami mendata jumlah tentara, bukan guru,” katanya hati-hati.
Kaisar Hirohito menatapnya dengan sorot tajam. “Tanpa guru, siapa yang akan membangun pikiran generasi kita? Perang telah menghancurkan tubuh kita, tetapi pikiran adalah benteng terakhir. Hitung jumlah guru sekarang juga!”
Guru: Penjaga Harapan di Tengah Kehancuran
Dua minggu kemudian, laporan selesai. Dari sekitar 300.000 guru sebelum perang, hanya 45.000 yang masih hidup dan mampu mengajar. Laporan ini dibacakan dalam sidang darurat, disertai grafik dan angka yang menunjukkan betapa rapuhnya situasi Jepang.
Salah satu menteri angkat bicara. “Yang Mulia, pendidikan memerlukan waktu bertahun-tahun. Kita butuh solusi cepat. Senjata, bukan sekolah!”
Kaisar Hirohito berdiri perlahan dari takhtanya. “Negara ini telah kehilangan banyak hal, tetapi kita tidak boleh kehilangan pikiran kita. Pendidikan adalah senjata yang paling kuat. Guru-guru itu adalah penjaga harapan kita.”