OLEH: Khoeri Abdul Muid
Soal nasib. Meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati.
Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3.
Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking.
Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka.
Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka.
Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog "nitizen Bersatu".
[Ponco dan Silo sedang duduk berdiskusi di sebuah kedai kopi.]
Ponco:
Silo, aku baru saja membaca teks yang sangat menarik tentang kesenjangan sosial dan ekonomi. Katanya, John Rawls, Amartya Sen, Thomas Piketty, dan David Held punya teori masing-masing tentang bagaimana negara harus mengatasinya. Tapi aku penasaran, kenapa sih teori-teori itu begitu penting untuk dibahas di Indonesia?
Silo:
Itu pertanyaan bagus, Ponco. Indonesia memiliki tantangan besar dalam hal kesenjangan sosial dan ekonomi, meskipun sudah ada upaya untuk menguranginya. Teori-teori ini memberikan kerangka berpikir yang berbeda untuk memahami masalah ini. Misalnya, John Rawls dengan prinsip kebebasan dan perbedaannya. Menurut Rawls, ketidaksetaraan bisa diterima kalau itu justru menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung.