OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pernahkah kau merasa sebuah foto bisa menyimpan nyawa seseorang? Malam itu, Nani duduk termangu di kursi ruang tunggu rumah sakit, tatapannya kosong menembus layar ponselnya. Tangannya gemetar saat membolak-balik foto-foto ibunya yang tersimpan di galeri. Setiap gambar membawa kenangan, dan setiap kenangan terasa seperti menekan dadanya, mengingatkannya pada kebahagiaan kecil yang perlahan sirna.
Di sampingnya, sang ibu duduk, bernafas pelan sambil menatap Pediatric Tower di depannya---menara itu berdiri megah seperti benteng besar yang tak akan runtuh. Nani mencoba tersenyum, menahan air mata yang hampir tumpah. "Bu, lihat itu, lucu ya? Gedungnya kayak cangkang endhog," ujarnya. Namun kali ini, suaranya bergetar, tak lagi seceria dulu. Ia tahu, ibunya sudah sangat lelah.
Tanpa menunggu jawaban, Nani merogoh ponselnya, mengarahkan kamera ke ibunya yang tampak semakin redup, namun tetap tersenyum. "Bu, foto dulu, ya. Sekali ini aja, please..." Ia tak ingin melewatkan momen ini, momen yang bisa jadi akan menjadi yang terakhir. Ibunya, meski letih, menuruti permintaan Nani dan mengangkat tangannya, menutupi wajahnya sedikit malu seperti biasa.
Klik! Suara shutter ponsel bergema di telinga Nani, menggema seakan waktu berhenti. Foto itu terbekukan, menyimpan senyum terakhir ibunya---senyum yang kali ini dipenuhi lelah dan sorot mata yang tampak pasrah. Nani menatap foto itu lama, seolah ingin meresapinya sampai ke dalam jiwa. Foto itu terasa berbeda, bukan lagi sekadar gambar, melainkan janji. Janji bahwa kebahagiaan yang ibunya rasakan, akan terus hidup dalam dirinya, apa pun yang terjadi.
Selama perjalanan pulang, Nani tak berhenti menatap foto tersebut. Di benaknya, berputar semua kenangan kecil mereka: dari percakapan lucu yang kerap menyelip di antara canda, hingga momen-momen mengharukan saat mereka berbagi duka. Setiap gambar, setiap kata yang pernah diucapkan ibunya kini seolah berbalik menghantam hatinya dengan kenyataan---bahwa esok mungkin ia tak lagi bisa mendengar suara tawa itu, atau melihat senyum yang selalu membuatnya merasa aman.
Esok paginya, ketika Nani kembali ke rumah sakit, ruangan tempat ibunya dirawat begitu sunyi. Ibunya terbaring tenang, matanya tertutup, wajahnya terlihat damai namun tak lagi bergerak. Suara mesin yang tadinya berdentang kini hening. Nani terduduk, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia menggenggam tangan ibunya yang kini dingin, tak mampu lagi menggenggam balik. Seketika, tangisnya pecah. Semua kata, semua kenangan yang ingin ia sampaikan, seolah tertahan di tenggorokan.
Namun, saat tatapannya jatuh ke ponsel, ia membuka galeri dan melihat foto terakhir itu lagi---ibunya yang tersenyum, walau dengan lelah yang terpancar. Di saat paling menyakitkan, ia tahu, senyum terakhir itu akan menjadi kekuatan bagi dirinya. Foto itu bukan lagi sekadar kenangan; itu adalah pernyataan cinta yang tak lekang oleh waktu. Nani tahu, ia akan terus hidup dengan senyum ibunya yang kini abadi dalam ingatannya, dalam sekeping foto yang tak akan pernah ia hapus.
Foto itu, kini menjadi saksi bahwa meski dunia terus berputar, cintanya untuk ibunya tak akan pernah hilang, tertanam selamanya di kedalaman hati yang tak pernah siap melepaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H