Mohon tunggu...
Kharisrama Trihatmoko
Kharisrama Trihatmoko Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Support me to be a writer by finding my books at: www.salehajuliandi.com www.gramedia.com Thank you! :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Japan’s Diary: When Ages Tell Something

21 Juni 2016   18:40 Diperbarui: 21 Juni 2016   19:00 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah setengah tahun lebih saya berada di Jepang, dan ada beberapa hal menarik yang mungkin sebenarnya bisa diceritakan. Salah satunya adalah tentang orang tua dan anak muda di Jepang. Betapa Jepang begitu berbeda dengan Indonesia …

Dulu saya pernah menulis tentang kondisi anak muda Jepang berdasarkan kuliah yang diberikan oleh dosen saya. (Bisa dibaca di sini). Setahun kemudian, setelah saya tinggal di Jepang dan mengamati secara langsung, ada fakta-fakta yang menguatkan ceritera dosen saya itu.

Yang pertama adalah bahwa orang tua di Jepang jumlahnya lebih banyak dibandingkan anak mudanya. Tentu saja hal ini tidak bisa dipastikan secara langsung tanpa melihat data, tapi yang jelas jumlah lansia di Jepang sangatlah banyak. Banyak! Sehari-hari di mana pun akan mudah dijumpai obaachan (sapaan untuk nenek) dan ojiichan (sapaan untuk kakek). Baik sedang berjalan-jalan, berbelanja, menunggu di halte bus, ataupun aktivitas lainnya. Yang menarik adalah bahwa orang-orang tua tersebut masih sangat sehat, kuat, bahkan sanggup bekerja walau sudah berusia 70 hingga 80an!

Di Jepang, hal tersebut sepertinya wajar-wajar saja, karena prinsip orang Jepang adalah life is for working. Jadi, tidak kenal batas usia untuk bekerja. Pemerintah Jepang mempekerjakan wanita paruh baya sebagai tenaga kebersihan di kantor-kantor. Sementara, para pria paruh baya masih setia bekerja di perusahaan masing-masing. Lainnya, ada yang masih tetap berkarir sebagai peneliti atau membuat bisnis sendiri. Namun jangan salah, meskipun sudah sangat tua, orang-orang tua Jepang justru orang-orang yang sangat hebat di bidangnya. Misalnya ada Prof. Satoshi Omura dari Universitas Kitasato, kakek berusia 80 tahun yang memenangkan nobel di bidang pengobatan. Lalu terdapat suatu perusahaan di Jepang (saya tidak bisa menyebutkan namanya) dengan para karyawannya adalah orang-orang tua tetapi merupakan perusahaan teknologi yang sangat hebat. Bahkan baru-baru ini Jepang telah merilis unsur kimia baru (ke-113) bernama Nihonium yang ditemukan oleh tim peneliti dari Kyushu University yang dipimpin oleh Prof. Kosuke Morita berusia 59 tahun.

Lalu bagaimana dengan anak-anak muda Jepang? Dalam tulisan saya sebelumnya, ada beberapa pernyataan yang mungkin agak menyentil pemuda Jepang. Kali ini ada dua hal yang berkaitan dengan persoalan tersebut yang ingin saya ceritakan. Pertama, ada sebuah artikel di dalam buku pelajaran bahasa Jepang yang ditulis orang Jepang sendiri, yang menceritakan tentang ketertarikan anak muda Jepang untuk menjadi ilmuwan. Tidak hanya anak muda Jepang, dalam artikel tersebut sebenarnya penulis melakukan penelitian terhadap anak-anak muda dari beberapa negara maju dan berkembang. Ternyata anak muda Jepang (bersama anak muda Inggris) adalah sebagian dari mereka yang memiliki pandangan negatif terhadap ilmuwan. Bahkan Jepang adalah negara dengan tingkat ketertarikan anak muda untuk menjadi ilmuwan paling rendah diantara negara-negara yang ikut serta dalam penelitian tersebut. (Kapan-kapan akan saya ceritakan isi ceritakan artikel ini). Hal ini memang tidak berhak untuk memberikan judgment yang sama ke setiap anak muda Jepang. Tetapi paling tidak cukup memberikan gambaran kenyataan yang tengah terjadi di masyarakat Jepang. Saya tidak mengatakan mengecewekan, tetapi ironis karena di lain pihak, peneliti-peneliti berusia lanjut di Jepang justru banyak yang berprestasi.

Hal yang kedua adalah bahwa saat ini jumlah tenaga kerja di Jepang yang didatangkan dari luar negara pelan-pelan semakin meningkat. Terutama dari negara-negara berpenduduk banyak seperti di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Mulai dari level SMK hingga level Master (S2). Anak-anak muda yang ‘diimpor’ dari luar tersebut banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan Jepang, bersama dengan anak-anak muda Jepang sendiri. Kira-kira apa yang menyebabkan Jepang semakin getol mendatangkan tenaga kerja dari negara lain? Silakan dipikirkan sendiri berdasarkan keterangan-keterangan yang telah saya sampaikan sebelumnya. Lalu apabila kita telusuri di internet, ada data-data yang menggambarkan bagaimana demografi penduduk Jepang ke depannya akan berubah akibat semakin menurunnya angka pertumbuhan penduduk. Yang menurut saya pribadi, hal tersebut menunjukkan bahwa fenomena impor tenaga kerja oleh Jepang saat ini sepertinya belum lah seberapa ….

Dan menurut pendapat saya, sepertinya Jepang akan semakin banyak mendatangkan tenaga kerja dari Asia Tenggara seperti Indonesia. Mengapa? Apakah karena anak-anak muda ASEAN begitu cerdas atau karena begitu minimnya lahan kerja yang ada di negara-negara ASEAN? Saya tidak tahu. Tetapi sepertinya, selain dari segi pendidikan dan segi ekonomi, faktor lain yang dilihat oleh orang Jepang adalah kecocokan budaya. Bisa jadi (tanpa bermaksud menunjukkan rasa ge-er atau apapun) orang-orang Jepang lebih merasa cocok dengan budaya di negara-negara Asia Tenggara, yang terkenal ramah, murah senyum, periang, dan sangat menghargai perasaan orang lain. Atau bisa jadi karena sifat yang tidak terlalu banyak tuntutan bila dibandingkan dengan orang-orang India yang terbiasa menyuarakan pendapatnya.

Apapun alasannya, yang perlu digarisbawahi mungkin adalah kesempatan anak muda Indonesia untuk mengembangkan diri, akan semakin luas ke depannya. Tidak terbatas di dalam negeri sendiri, bahkan hingga ke negara lain yang jauh seperti Jepang. Mungkin saja, 50 atau 100 tahun yang akan datang, penduduk asli Indonesia akan mendominasi seperempat atau setengah dari populasi Jepang. Lalu sebenarnya baikkah keputusan yang diambil dengan bekerja di negara lain apalagi bekas penjajah seperti Jepang? Misalnya ketika sudah berada di Jepang, jika kita bertemu atau bekerja dengan orang-orang tua Jepang, mungkinkah sebenarnya orang-orang tua itu dulunya adalah mereka yang ikut andil dalam menindas bangsa kita? Dan sekarang, kita justru bekerja untuk mereka?

Menurut saya, itu semua kembali kepada diri masing-masing. Ada seorang atasan saya di kantor (seorang kakek) yang menasehati agar saya belajar banyak selama berada di Jepang. Pesan beliau, tirulah bagaimana kerja keras orang-orang tua Jepang dulu dalam membangun Jepang yang hancur berantakan karena kalah perang hingga akhirnya menjadi negara termaju ke dua di dunia setelah Amerika Serikat. Dan kemudian, jangan lupa untuk mengapilkasikannya dengan pulang ke Indonesia. Beliau tidak menyuruh untuk terus menerus berada di Jepang, tetapi kembalilah ke negara sendiri. Ketika mendengar nasehat itu, jujur saya terharu. Dan inilah dua nilai yang saya catat, yaitu rasa cinta pada negara sendiri dan tetap berjiwa fair atau sportif.Dengan memiliki kedua nilai ini di dalam hati, saya yakin setiap orang akan terus terpacu memberikan kontribusinya untuk membangun negaranya, lalu yang tidak kalah penting, akan dapat saling mendukung satu sama lain, terutama sesama bangsa sendiri. Dan kalau semua orang seperti itu, rasanya indah sekali bukan?

Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun