Mohon tunggu...
Kharisma Wahyu Pradana
Kharisma Wahyu Pradana Mohon Tunggu... -

Menuang pikiran dalam tulisan, mengkaji bahasa sebagai pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Rokok: Bisnis, Budaya, dan Dilema

9 Oktober 2016   06:24 Diperbarui: 9 Oktober 2016   08:49 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Salah satu instrumen penetapan harga itu kan cukai, yang merupakan bentuk pajak. Secara teori, ketika pajak terlalu tinggi, akan ada dampak berupa produk ilegal.”

Begitulah pernyataan Dirjen Bea dan Cukai, Heru Pambudi dalam BBC Indonesia 23 Agustus 2016 menanggapi isu yang berbentar di masyarakat berkenaan dengan kenaikan harga rokok yang diwacanakan mencapai 300%. Isu tersebut menghangat seiring terjadinya defisit pada program BPJS kesehatan yang merengkuh angka 7 triliun rupiah.

Tak kurang dari Rp 149 triliun dicanangkan sebagai target pendapatan negara yang berasal dari cukai rokok. Ditambah lagi, dalam RAPBNP 2017, rata-rata kenaikan cukai rokok ditetapkan sebesar 10,54%. Itu artinya, harga rokok tetap akan naik dan pendapatan negara yang bersumber dari cukai rokok akan lebih tinggi pada tahun depan. Akan tetapi, pemerintah membantah akan menaikkan harga rokok mencapai Rp50.000 per bungkus, meski ada rencana menaikkan cukai rokok tahun depan.

Sebuah wacana yang memikat untuk ditelaah. Perkembangan industri rokok melesat tajam di awal abad ke dua puluh menjadikan industri rokok sumber pemasukan terbesar di banyak negara.  Rokok menjadi ladang subur nan menggiurkan sekaligus membawa ancaman yang masif. Bukan merupakan entitas yang dibenarkan, namun juga tidak dapat dihakimi.

Sungguh bisinis maha besar, gulungan tembakau yang dibalut kertas berkonsekuensi pada perputaran uang dalam skala besar. Menurut Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, lebih dari 4,5 juta orang dari sektor formal hingga pedagang eceran terlibat dalam bisnis produksi rokok, belum termasuk konsumen yang mencapai puluhan juta. Tak dapat dipungkiri, bisnis besar ini sangat problematis. Merokok adalah gaya hidup, menghisap tembakau merupakan kebutuhan, berdagang tembakau merupakan basis pendapatan, disamping dampak buruk yang terus mengecam.

Tak melulu soal bisnis, rokok telah berhasil menginfiltrasi kehidupan masyarakat Indonesia selama puluhan bahkan ratusan tahun. Parsudi Suparian mengatakan budaya akan melandasi segala perilaku dalam masyarakat, karena budaya merupakan pengetahuan manusia yang seluruhnya digunakan untuk mengerti dan memahami lingkungan dan pengalaman yang terjadi kepadanya. Rokok telah membudaya, sedikit banyak perilaku masyarakat terimbas oleh adanya budaya merokok. Dalam sebuah masyarakat definit, merokok merepresentasi kejantanan. Paradigma tersebut membersitkan tafsiran bahwa merokok adalah mutlak bagi seorang laki-laki.

Melihat representatif lain, pada sebuah konglomerasi masyarakat dirasa kurang afdal manakala sigaret tidak diikutsertakan. Perokok akan lebih diterima dalam suatu kelompok sosial masyarakat. Secara psikologis, rokok akan ikut memengaruhi perilaku. Seorang perokok akan cenderung memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengawali perbincangan dengan sesama perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok.

Pertanyaan yang acap kali muncul adalah : Mengapa harga rokok di Indonesia cenderung murah bila dibandingkan dengan negara-negara lain? Salah satu faktor yang turut yang memengaruhi harga rokok tentu saja faktor budaya di masyarakat, terlepas dari hal-hal lain yang ikut memengaruhi.  

Dalam segi sosio-ekonomi, rokok dapat dikatakan sebagai solusi. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak pernah lepas dari bantuan orang lain. Besaran imbalan sering dipertimbangkan ketika seseorang meminta bantuan. Sebagai contoh, ketika seseorang mempunyai hajat dan membutuhkan bantuan banyak orang, sering satuan rupiah bukanlah imbalan yang sepadan apabila jumlahnya tak seberapa, namun jumlah besar malah akan sangat membebani. Rokok tergambar menjadi solusi karena dirasa pantas dan setimpal.

Dapat menjadi refleksi, mengatrol harga rokok perlu pertimbangan yang sangat komprehensif. Bukan semata-mata ihwal ekonomi, akan tetapi juga menyangkut aspek sosial dan budaya. Terlebih, kenaikan harga rokok dapat menyulut persoalan baru. Harga barang pokok tentu akan ikut mengiringi kenaikan harga rokok andaikata kenaikan harga terlampau tinggi. Tak dapat dipungkiri, jumlah perokok di Indonesia tergolong sangat tinggi. Bagi sebagian besar masyarakat, rokok adalah kebutuhan pokok yang mutlak terpenuhi. Tentu akan sangat memberatkan bagi sebagian publik. Lebih dari itu, rokok telah menjelma sebagai salah satu unsur budaya dalam masyarakat.

Rokok adalah sebuah problem dilematik. Pelbagai aturan dirancang demi mencari jalan tengah atas problematika yang timbul akibat rokok. Tak acap berjalan mulus, hampir selalu ada pertentangan manakala sebuah aturan diberlakukan. Ketika menilik sisi positif dari adanya rokok, niscaya ada sisi positif disamping dampak buruk yang disebabkan. Konsekuensi terburuk adalah kesehatan, tetapi dengan tidak adanya rokok juga tidak menjamin kualitas kesehatan akan meningkat, malah akan berimbas pada sektor perekonomian dan sosial-budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun