Mohon tunggu...
Khanza Shafira Diankusuma
Khanza Shafira Diankusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Psychology Student at Universitas Tarumanagara | Head of Marketing, PR, and Communications at Kasaya Indonesia

Head of Marketing and Public Relations with a demonstrated history of working in the mental health care industry. Skilled in Leadership, Creativity Skills, and Public Speaking. Strong media and communication professional with a Bachelor of Arts - BA focused in Psychology from Universitas Tarumanagara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menghentikan Rasa Sakit yang Diwariskan Orang Terdekat Melalui Empati

9 Januari 2023   18:27 Diperbarui: 9 Januari 2023   18:44 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Ilustrasi kutipan oleh Dalai Lama | Sumber foto: kejarmimpi.id

Oleh: Khanza Shafira Diankusuma (Mahasiswa Program Studi Psikologi Jenjang Sarjana Universitas Tarumanagara) | Rahmah Hastuti, M.Psi., Psikolog (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara)

Rasanya sulit ketika dihadapi oleh situasi yang mengharuskan kita mewariskan rasa sakit dari peristiwa pahit yang dirasakan orang terdekat. Tak hanya keluarga, luka itu bisa kita dapatkan dari teman, pasangan, maupun rekan kerja. Sebagai contoh, ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar perilaku yang kita kembangkan, merupakan implikasi dari latar belakang hidup yang kita jalani, terutama pola asuh orang tua. 

Kita mengetahui bagaimana nalar dan logika membantu kita menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Tetapi, alasan logis saja tidak dapat memotivasi kita secara moral. Kita tidak akan dapat mendukung orang lain, jika diri kita sendiri tidak dapat membayangkan bagaimana kebutuhan, keinginan, dan pola pikir mereka.

Dalam hal ini, Anda pasti membutuhkan empati untuk memahami secara mendalam latar belakang dan alasan seseorang yang menyebabkan mereka mewarisi rasa sakitnya kepada Anda. Untungnya, empati adalah keterampilan yang dimiliki kebanyakan orang. Seperti yang telah kita lihat, empati berkembang secara alami untuk mendukung sifat kita sebagai makhluk sosial. Lalu, bagaimana empati membantu kita berpikir dan bertindak? Simak ulasan berikut.

Jadi, apa itu empati? 

Stein dan Book (1997) mengungkapkan bahwa empati merupakan kemampuan menyadari, memahami, dan menghargai perasaan orang lain. Menurut ahli saraf, ini terjadi ketika dua bagian otak bekerja sama. Pusat emosi merasakan bagaimana perasaan orang lain, dan pusat kognitif mencoba memahami mengapa orang lain merasa seperti itu dan bagaimana Anda dapat membantu mereka.

Empati dapat memotivasi kita untuk berbuat baik kepada orang lain. Golden-rule yang dapat menjadi kunci dalam bersikap empati, adalah sebagai berikut:

 "Perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin mereka memperlakukan Anda."

Dapat disimpulkan bahwa, empati adalah kemampuan yang memungkinkan kita mengenal lebih dalam suka dan duka orang lain dalam upaya membangun relasi sosial yang lebih intim dan baik. 

Simpati vs Empati

Ada banyak kesalahpahaman bahwa empati sama dengan simpati. Faktanya, ada perbedaan besar antara kedua konsep tersebut.

Empati adalah konsep yang mengacu pada kemampuan kognitif dan emosional seseorang untuk membayangkan perasaan orang lain. Simpati mengacu pada perasaan tertarik akibat tindakan yang dilakukan oleh seseorang, seperti kasihan melihat orang lain tertimpa musibah.

Ilustrasi anak membantu teman yang terjatuh | Sumber foto: pppa.or.id
Ilustrasi anak membantu teman yang terjatuh | Sumber foto: pppa.or.id

Membangun hubungan positif melalui empati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun