Beberapa hari terakhir, hati saya tergerak ,lebih tepatnya terguncang, oleh kabar yang mengejutkan: wacana penambangan nikel di Raja Ampat. Satu kalimat langsung terlintas di benak saya: Apakah benar sebodoh itu para pemegang keputusan?
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah permata ekologis dunia, rumah bagi ribuan spesies laut, hutan tropis yang masih perawan, dan komunitas masyarakat adat yang hidup harmonis dengan alam. Di era krisis iklim dan kerusakan biodiversitas global, Raja Ampat justru menjadi simbol harapan. Namun, harapan ini perlahan dihancurkan dengan dalih investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Saya tidak sedang menyalahkan pertumbuhan. Saya paham pentingnya industrialisasi. Tapi pertanyaannya: Apakah harus Raja Ampat yang dikorbankan? Tidak cukupkah wilayah-wilayah lain yang secara ekologis lebih toleran terhadap aktivitas tambang? Mengapa permata terakhir ini justru yang dipilih untuk dikoyak?
Apakah keuntungan nikel begitu besar hingga rela mengorbankan salah satu kekayaan alam terakhir kita? Mari kita jujur: sebagian besar keuntungan nikel tidak dinikmati oleh masyarakat sekitar, apalagi rakyat Indonesia secara luas. Investor besar lah yang menggenggam kendali, dan mungkin sebagian dari para pembuat kebijakan yang terbutakan nuraninya, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton dari kehancuran tempat tinggal mereka.
Dan satu hal yang tidak bisa dibeli kembali adalah alam.
Raja Ampat memiliki lebih dari 75% spesies karang dunia dan ribuan spesies ikan. Kawasan ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tapi juga bagi keseimbangan ekosistem global.
Sekali rusak karena (sedimentasi tambang, pencemaran air, atau pemindahan vegetasi asli) tidak bisa dipulihkan dengan uang. Keanekaragaman hayati bukan properti yang bisa dibeli kembali setelah dihancurkan.
Raja Ampat tidak bisa dibangun ulang. Ia bukan gedung, bukan jalan tol, bukan proyek reklamasi. Ekosistem yang hancur membutuhkan ribuan tahun untuk pulih dan bahkan itu pun belum tentu bisa kembali seperti semula. Apakah pertaruhan ini sepadan? perih hati ini membayangkan seperti apa wajah Raja Ampat ketika mulai ditambang, sementara kejadian kebakaran bromo saja masih menyisakan sakit di hati ini, walaupun sekarang bromo sudah hijau kembali.Â
Lebih dari sekadar kemarahan, ini adalah bentuk keputusasaan melihat arah kebijakan negeri ini yang semakin kehilangan arah. Negara ini seperti tak punya kompas ekologi, tak punya hati nurani lingkungan. Padahal, kita semua tahu, bumi ini bukan warisan dari leluhur, tapi titipan untuk anak cucu.
Saya menulis ini sebagai bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap kebijakan yang lahir dari keserakahan, bukan dari nalar dan etika. Saya menulis ini untuk mengingatkan: ketika Raja Ampat hilang, bukan hanya Papua yang kehilangan, tapi seluruh umat manusia.