Mohon tunggu...
Jonta Sasmita
Jonta Sasmita Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Sosial

Penulis Mandiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelisik Kembali Tantangan Gerakan Buruh di Indonesia

9 Juni 2021   22:21 Diperbarui: 9 Juni 2021   22:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Khamsyahurrahman

Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan buruh, serikat buruh, dan pemerhati persoalan perburuhan bahwa sejak krisis tahun 1997 hingga kini telah terjadi titik balik situasi yang makin mempersulit kondisi buruh. Secara umum situasi sulit tersebut merupakan akibat dari situasi di tingkat makro. Dimulai dari jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yang membawa efek domino berupa penutupan dan bangkrutnya pabrik-pabrik yang mengandalkan bahan baku impor, dalam hal ini pabrik TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), karena tidak sanggup menanggung beban kenaikan harga. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang tak tertahankan.

Selain karena pabrik tutup atau bangkrut, PHK massal juga terjadi sebagai dampak dari berbagai strategi yang dilakukan perusahaan dalam rangka menyiasati dampak krisis, di antaranya adalah rasionalisasi jumlah tenaga kerja, efisiensi produksi, dan pergeseran preferensi tenaga kerja yang direkrut. Di tengah situasi semacam itu, di tingkat kebijakan terjadi pergeseran orientasi kebijakan perburuhan yang tampaknya lebih memihak kepada buruh.

Konvensi ILO tentang kebebasan berserikat dan berunding kolektif diratifikasi untuk selanjutnya diimplementasikan ke dalam UU Serikat Buruh/Serikat Pekerja No. 21 tahun 2000. Selain kebijakan setingkat UU, kebijakan dalam bentuk keputusan menteri juga menunjukkan pergeseran pendulum ke arah yang lebih pro buruh yakni Kepmen No. 78 tahun 2000 mengenai ketentuan PHK dan pesangon. Reaksi keras dari pengusaha terhadap keputusan ini melahirkan Kepmen No. 150 tahun 2000 yang berbuah reaksi keras dari buruh karena dianggap menghilangkan lagi peluang yang menguntungkan buruh.

Reaksi-reaksi yang muncul terhadap kebijakan tersebut setidaknya menunjukkan kepada kita proses perumusan kebijakan yang tidak didasari oleh pemahaman yang penuh terhadap situasi dinamika hubungan perburuhan yang sedang berkembang. 

Sebagaimana juga umum diketahui, UU SB/SP (Serikat Buruh/Serikat Pekerja) baik pada tingkat rumusan maupun implementasinya telah menciptakan keadaan yang dilematis bagi buruh, karena di samping memberikan kebebasan untuk mendirikan serikat secara independen, UU ini pada saat yang bersamaan juga membuka lebar peluang fragmentasi atau perpecahan kekuatan buruh. 

Ketika kekhawatiran mengenai perpecahan itu disuarakan, berbagai pihak masih menganggapnya sebagai sesuatu yang hanya akan bersifat sementara. Tetapi dalam kenyataannya, hingga hari ini kekhawatiran tersebut makin relevan dan justru menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Kasus-kasus perpecahan serikat semakin sering terjadi dengan sebab-sebab yang berbedabeda, baik yang diakui atau disembunyikan, di tingkat nasional maupun lokal, sehingga mempercepat proses pelemahan gerakan buruh.

Dalam situasi demikian, ancaman terhadap kelangsungan kerja buruh dan eksistensi serikat muncul dalam wujud serentetan aksi tutup pabrik dan relokasi ke negara lain yang dilakukan oleh beberapa investor asing ternama di bidang elektronik dan sepatu. Penutupan dan relokasi tersebut menjadi tonggak yang menunjukkan gentingnya kondisi investasi dan kesempatan kerja di Indonesia. Perlu dicatat bahwa selain kasus-kasus yang terliput di tingkat nasional, masih banyak sekali insiden penutupan pabrik dan hilangnya kesempatan kerja di tingkat lokal di berbagai pusat industri di Jawa, Batam, dan Medan yang tidak terliput secara nasional.

Ketika serikat buruh sedang sibuk membenahi diri dalam situasi di atas, kembali pemerintah mengeluarkan UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 dan UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan No. 02/2004 yang membuat arena bagi gerak buruh dan serikat buruh menjadi semakin rumit. Pada hakikatnya, kedua UU ini, bersama dengan UU SB/SP di atas (ketiganya kemudian dikenal sebagai paket 3 UU Perburuhan) telah menciptakan berbagai tantangan 'baru' bagi buruh dan serikatnya yang harus disikapi dengan strategi dan cara yang baru pula. 

Apabila dirumuskan secara lebih ringkas, dinamika perubahan situasi perburuhan yang diuraikan di atas merupakan sebuah wujud dari strategi modal untuk mendorong terciptanya fleksibilitas yang saat ini merupakan kata kunci bagi kegiatan operasinya. Upaya-upaya menciptakan fleksibilitas dilakukan melalui berbagai lini, yaitu lini kebijakan, lini produksi, lini tenaga kerja, dan lini serikat buruh, yang dilaksanakan secara sistematis melalui kerjasama dengan pemerintah pusat maupun lokal, dengan para pengamat ekonomi dan media massa, dan dengan serikat buruh sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun