Mohon tunggu...
Khalil Fajri
Khalil Fajri Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan Mahasiswa

Saya seorang yang cerewet suka mengomentari apapun

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi di Perguruan Tinggi

20 Agustus 2022   17:07 Diperbarui: 20 Agustus 2022   17:07 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://www.flickr.com/photos/ikhlasulamal/3396351933Image caption

Korupsi adalah penyakit yang sulit untuk disembuhkan, tiap harinya satu persatu pejabat negara menjadi tersangka dalam kasus ini. Sebagai sebuah penyakit sosial, ranah yang bisa dijangkau oleh korupsi juga sangat luas. Mikro-makro, pegawai golongan rendah hingga tinggi, sampai penjabat daerah dan pusat juga bisa terjangkit penyakit ini.

Baru-baru ini rektor Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Karomani diamankan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Bandung. Tak hanya Karomani, KPK juga ikut mengamankan beberapa orang lagi di Bandung dan juga Lampung. Karomani ditangkap saat sedang mengikuti acara Character Building, dilansir dari dari Tempo, Karomani diduga menerima suap sebesar 2 miliar dari beberapa pihak dan sampai ini penyelidikan masih dilakukan untuk mengetahui untuk apa dan tujuan dana tersebut diberikan kepada rektor Unila ini.

Korupsi yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan, memang sangat amat disayangkan mengingat tujuan dan fungsi lembaga ini sebagai sarana untuk membentuk moral dan kecerdasan para generasi muda. Karomani adalah seorang guru besar di bidang ilmu komunikasi, seorang yang mendapatkan penghargaan dari negara karena keluasan ilmunya, sangat sulit dibayangkan bagaimana perasaan para mahasiswa serta orang-orang yang pernah belajar dengan Karamoni, bagaimana tanggapan terhadap orang yang pernah menjadi guru mereka tersebut, tapi demikianlah korupsi, tak peduli guru atau penjahat, asal ada kesempatan semuanya bisa melakukan tindakan ini.

Korupsi di perguruan tinggi bukan lagi hal baru. Sebelumnya sudah juga pernah terjadi bahkan melibatkan 10 profesor dan 200 doktor sebagaimana yang disebutkan dalam koran Sindo (11/12/2014). Penyelewengan kekuasaan adalah gerbang awal terjadinya korupsi. Berdasarkan bentuk perilakunya maka korupsi memiliki ciri sebagai berikut. Pertama, tindakan mengkhianati kepercayaan. Kedua, dengan sengaja melalaikan kepentingan umum guna memperoleh keuntungan pribadi. Ketiga, dilakukan dengan rahasia. Keempat, melibatkan lebih dari satu pihak. Kelima, ada kepentingan bersama, dalam bentuk uang atau yang lainnya. Keenam, korupsi berpusat pada orang-orang yang punya kekuasaan atau yang memiliki kewenangan untuk mempengaruhi sebuah keputusan. Ketujuh, adanya fungsi ganda pada mereka yang melakukan korupsi. Terakhir,  ada usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum [Alatas;1987, viii].

Berdasarkan ciri di atas, maka pimpinan perguruan tinggi bisa dengan mudah menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Bagaimanapun seorang rektor itu punya kekuasaan dalam menentukan pengadaan jasa hingga penerimaan siswa baru dalam bentuk jalur masuk mandiri. Kadang kala dalam memenangkan satu belah pihak dalam tender-tender yang ada di perguruan tinggi sering dilakukan praktik kolusi. Rektor atau pihak-pihak yang berkaitan akan mendapatkan imbalan terima kasih dari pihak yang dimenangkan. Meski salah, sering kali orang menutup mata atas kesalahan dan perilaku semacam ini.

Jika disimak lagi, di manakah salahnya menerima ucapan terima kasih? Bukankah itu bentuk penghargaan orang lain terhadap perbuatan baik yang sudah dilakukan? Ya jika itu dikaitkan dengan norma sosial normal tidak ada masalah, namun jika perbuatan itu sudah berkaitan dengan jabatan struktural yang sedang di emban maka perbuatan ini salah dan menyimpang.

Pada masa Rasulullah praktik ini pernah terjadi pada seorang petugas pengumpulan zakat. Ia menerima imbalan di luar dari gaji dari pekerjaan yang dilakukannya. Riwayat lengkap matannya ialah sebagai berikut:

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, Muhammad bin Al 'Ala' telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Hisyam dari ayahnya dari Abu Humaid As Sa'idi dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengangkat seorang laki-laki dari Azd yang bernama Ibnu Al Atbiyah untuk memungut zakat Bani Sulaim, ketika sekretarisnya datang dia berkata: "Ini adalah harta kalian sedangkan ini adalah hadiah untukku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidakkah kamu duduk-duduk saja di rumah ibu atau bapakmu sehingga datang orang yang memberi hadiah kepadamu, jika kamu benar demikian." Setelah itu beliau berkhutbah, setelah beliau memuji dan menyanjung Allah, beliau sampaikan: "Amma ba'du. Sesungguhnya saya telah meemngangkat seseorang dari kalian sebagai pegawai untuk suatu pekerjaan yang Allah bebankan kepadaku, kemudian dia datang seraya berkata: 'Ini adalah hartamu, sedangkan yang ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku, tidakkah dia duduk-duduk saja di rumah ayah atau ibunya menunggu sampai ada orang yang memberi hadiah kepadanya, jika dia orang yang benar. Demi Allah, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sesuatu darinta tanpa hak, kecuali ia akan bertemu Allah Ta'ala pada hari Kiamat dengan membawa (harta tersebut). Dan sungguh saya akan mengenal salah seorang dari kalian saat ia datang menemui Allah dengan membawa unta atau sapi yang melenguh-lenguh, atau kambing yang mengembek-embek." Setelah itu beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiaknya, kemudian beliau mengucapkan: "Ya Allah, telah saya sampaikan."

Apa yang dilakukan oleh sahabat dalam hadis di atas akan menjadi dalil serta nasihat bagi kita tentang apa yang boleh, dan apa yang tidak. Orang yang mengumpulkan zakat tidak boleh mengambil hadiah dari selama ia bekerja mengumpulkan zakat. Perumpaan tentang "Tidakkah kamu duduk-duduk saja di rumah ibu atau bapakmu sehingga datang orang yang memberi hadiah kepadamu?" adalah penegasan bahwa apa yang ia terima bukanlah sebab dirinya, melainkan sebab jabatan yang sedang diembannya. Dengan demikian maka benarlah langkah KPK jika memasukan gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi, karena Rasulullah sendiri melarang umatnya untuk melakukan hal serupa.

Bersamaan dengan hal-hal tadi, tindak pidana korupsi yang terjadi dilingkungan perguruan tinggi tidak bisa dibenarkan, apalagi jika minimnya literasi tentang apa saja yang digolongkan ke dalam kategori korupsi dijadikan sebagai sebuah alasan, sungguh tidak bisa diterima. Jika alasan ini dipakai oleh pejabat desa, masih bisa diterima oleh logika, namun jika dipakai oleh orang-orang yang tiap hari bersentuhan dengan literasi dan draft-draft akademik tentang hukum dan perundang-undangan maka, alasan ini sudah sangat keliru dan tidak bisa diterima oleh akal sehat.

 Harapan orang tua ketika memasukkan anaknya ke dalam sebuah lembaga pendidikan, ialah mengharapkan anak-anak mereka menjadi orang-orang yang beradab, berakhlak serta bermoral. Namun jika ternyata orang-orang yang harusnya mengajarkan adab, akhlak, serta moral itu mempertontonkan tindakan yang berlawanan dengan apa yang diajarkannya? Entah bagaimana nasib pendidikan bangsa ini  ke depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun