Mohon tunggu...
Khalid Umar
Khalid Umar Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Khalid adalah mahasiswa Teknik Perminyakan ITB angkatan 2015 yang menekuni analisis keenergian Indonesia. Saat ini Khalid menjabat sebagai Kepala Divisi Kajian Energi Taktis di Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan "PATRA" ITB. | Kontak kami: LinkedIn: https://www.linkedin.com/in/khalid-umar-770527151/ | Email: khalidumar.itb@gmail.com | HP: 085861396841

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tak Perlu Nasionalisme Buta dalam Mengelola Migas Indonesia (Bagian 1)

5 November 2018   06:35 Diperbarui: 5 November 2018   07:06 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan
Pertumbuhan investasi sektor migas di Indonesia akhir akhir ini mengalami penurunan. Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi memaparkan investasi migas di 2018 ditargetkan sebesar US$ 14,3 miliar. Tetapi hingga kuartal I-2018, yang terealisasi baru US$ 2,4 miliar. "Baru 17% dari target. 

Selain itu, Reserve Replacement Ratio (RRR) Indonesia juga dinilai masih rendah. "Kita hanya mampu RRR 50%. Itu adalah rasio berapa banyak yang kita ambil terhadap berapa banyak (cadangan minyak) yang kita temukan. Kita dua kali lebih banyak mengambil daripada menemukan," kata Arcandra beberapa waktu lalu. 

Sementara itu, angka konsumsi minyak kita terus menunjukkan kenaikan. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM mengatakan angka konsumsi rata-rata saat ini mencapai 1,3 juta barel per hari.  Melihat kondisi seperti ini pemerintah tentunya mulai berfikir dan mencari ide untuk meningkatkan investasi di bidang migas. Namun dari data Global Petroleum Survey, Indonesia hanya memiliki nilai Policy Perception Index sebesar 35.02. PPI adalah sebuah nilai yang mengukur ketertarikan investor asing untuk berinvestasi di suatu negara berdasarkan iklim, risiko politik, pajak produksi, dan kualitas infrastruktur.

source: US energy information administration
source: US energy information administration
Cara lain untuk meningkatkan investasi di bidang migas adalah dengan bekerjasama dengan perusahaan asing untuk meningkatkan investasi di sektor hulu migas khususnya di bidang eksplorasi yang memiliki risiko tinggi. Tujuan investasi ini adalah untuk meningkatkan cadangan minyak bumi Indonesia yang semakin menipis.

Adapun kebijakan nasionalisasi blok migas habis kontrak dapat menyebabkan investor asing enggan untuk berinvetasi dan dampak terburuknya yaitu lesunya kegiatan migas di Indonesia dan dikucilkan dari dunia internasional.

Menurut Kepala Divisi Formalitas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Didik Sasono Setyadi, Kamis, pencarian migas di perut bumi "memiliki risiko ketidakpastian yang besar".  Teknologi satelit saat ini, kata dia, bisa mendeteksi adanya potensi migas di belahan bumi tertentu, namun jika ingin tahu cadangan yang dikandung harus melakukan aktivitas eksplorasi, seperti seismik dan pengeboran.

 Biaya pengeboran yang harus dikeluarkan juga sangat besar hingga mencapai puluhan juta dolar. Padahal tingkat keberhasilannya hanya 12 persen. Jika tidak menemukan cadangan minyak, maka investasi yang sudah ditanamkan menjadi sia-sia.

"Yang berani rugi itu perusahaan asing. Perusahaan dalam negeri tidak berani gambling," ujarnya.  Karena itulah, muncul kesan bahwa industri migas Indonesia dikuasai perusahaan asing. Padahal sebenarnya, perusahaan-perusahaan tersebut hanya kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas, dengan jangka waktu tertentu. 

Misalnya, Didik mencontohkan, blok Mahakam yang sudah berakhir masa kerja sama dengan Total E&P Indonesia dan diserahkan pengelolaannya pada Pertamina.  "Cadangan migas di blok Mahakam masih ada, tapi setelah kontrak berakhir dikembalikan pada pemerintah. Kita masih berdaulat," ujarnya.  Perhitungannya, setiap investasi Rp1 miliar pada sektor ini, bisa mendatangkan imbas ekonomi hingga Rp1,6 miliar dan membuka lapangan pekerjaan untuk 10 orang. Padahal investasi migas biasanya bernilai ratusan miliar bahkan mencapai angka triliunan.

Dewan Direksi Indonesia Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah mengatakan pemerintah harus memikirkan secara matang terlebih dahulu, jika akan menghapuskan peran asing di industri migas nasional. Karena, tidak ada satu pun negara di dunia yang bisa mengelola sumberdaya migasnya sendiri. Bahkan, dia mencontohkan, Amerika Serikat yang punya sejarah industri hulu migas sebagai pionir dan ekonomi terbesar pun mengakui tetap membutuhkan campur tangan asing atau pihak di luar negaranya sendiri.

Menurut Sammy, industri migas seperti industri ekstrakted atau sumberdaya lainnya, yang secara alamiah sudah terikat pada negara dimana sumberdaya itu berada. 

Meski ada peran asing, kepemilikan sumber daya migas tetap dimiliki oleh negara.  Ia juga berpendapat, kemandirian dan kedaulatan energi tidak ada hubungannya dengan kepemilikan dan pengelolaan sumber daya tersebut. Contohnya, negara Jepang atau Singapura yang tidak anti-asing, namun kemandirian energinya bisa lebih tinggi dari Indonesia. Padahal sumber daya alam yang dimiliki Indonesia lebih banyak dibandingkan dua negara tersebut.

Sudah Miskin, Galak Pula

Belajar dari Venezuela, Presiden terpilih Venezuela, Hugo Chavez pada tahun 2007 mulai melakukan nasionalisasi besar besaran di Venezuela dengan mengambil alih seluruh lapangan minyak yang dikelola oleh pihak asing dan menyerahkan pengelolaannya kepada PDVSA sebagai perusahan migas nasional Venezuela.

Pada awalnya PDVSA bisa mendongkrak pendapatan perusahaan ke angka 64,5 miliar dollar AS sebagai dampak awal nasionalisasi. Tahun berikutnya, perusahaan ini menyumbang negara sebesar 10,3 miliar dollar AS, termasuk pajak, royalti, serta program- program sosial. Namun pada tahun 2014 saat harga minyak mulai jatuh, PDVSA tidak bisa mempertahankan total produksi yang ada.

Hingga pada April 2018 produksi minyak Venezuela anjlok ke 1,5 juta barel/hari, turun 42% dari produksi tertinggi tahun 1998. Di bulan yang sama arbitrasi internasional (ICC) memutuskan Venezuela membayar ganti rugi US$ 2 miliar pada ConocoPhillips. Perusahaan AS ini sudah mengajukan penyitaan aset produksi PDVSA, yang apabila dikabulkan akan mengancam 25% produksi minyak Venezuela.

Belum lagi, Venezuela berdasarkan Global Petroleum Survey memiliki nilai Policy Perception Index (PPI) sebesar 0.00 dan merupakan negara paling tidak atraktif bagi investor. Padahal Venezuela adalah pemilik oil reserve terbesar di dunia. Cadangan yang begitu besar tersebut menjadi tidak berguna bagi rakyatnya karena mismanagement dan nasionalisme buta pemimpin negaranya.  

Kegagalan PDVSA dalam memenuhi anggaran Venezuela karena turunnya harga minyak dunia menyebabkan negara ini mengalami inflasi besar-besaran. Pada bulan Agustus inflasi di Venezuela mencapai angka 200%. Capaian inflasi ini berarti harga-harga di Venezuela telah meningkat hampir 35.000% sejak awal tahun dan 200.000% sejak 31 Agustus 2017.

Indonesia berdasarkan Global Petroleum Survey memiliki nilai Policy Perception Index sebesar 35.02 dan memiliki Proved Reserves sebesar 22.67 BBOE.  Jika dibandingkan dengan Texas yang memiliki Proved Reserves yang hampir sama dengan Indonesia (27.83 BBOE), Texas memiliki nilai PPI 100 yang menunjukkan negara (jika bisa disebut negara) tersebut paling atraktif bagi investor.  

Bila membandingkan UAE dengan Indonesia, UAE memiliki cadangan 6 kali lebih besar dari cadangan Indonesia (138 BBOE) tetapi memiliki PPI yang jauh lebih baik dari Indonesia (80.91).  Jadi jika boleh dikatakan bahwa Indonesia ini sudah miskin, galak pula. 

Maka dari itu hal ini harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan nasionalisasi migas karena negara -- negara yang memiliki cadangan minyak lebih besar dari Indonesia pun sangat terbuka dengan perusahaan asing. 

Nasionalisasi migas itu baik namun hal yang lebih utama adalah menjadikan cadangan yang ada di perut bumi tersebut dapat terambil dan bisa dimanfaatkan untuk masyarakat. Jangan sampai keinginan nasionalisasi yang berakibat semakin tidak atraktifnya Indonesia dan berujung pada semakin sedikitnya eksplorasi dan cadangan minyak yang dapat diambil mengakibatkan ketahanan migas Indonesia terancam.

Industri migas adalah industri yang membutuhkan biaya yang sangat besar dengan tingkat ketidakpastian yang sangat besar pula. Untuk dapat meningkatkan pertumbuhan investasi sektor migas di Indonesia dibutuhkan total investasi yang sangat besar dan resiko yang besar pula.

Lalu nasionalisme seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh suatu bangsa dalam mengelola migas?  Simak tulisan kami berikutnya !

Oleh: Khalid Umar, Muhammad Anwar Sena, Muhammad Hamdan Abdillah, Muhammad Irfan,  Abdel Moh Deghati 

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun