Sebelumnya mari bedakan terlebih dahulu antara Harga Keekonomian dan Harga Jual BBM.
Harga Keekonomian adalah harga yang seharusnya dipatok oleh SPBU penjual BBM (Pertamina atau lainnya seperti Shell) yang dihitung berdasarkan nilai BBM di pasar setelah ditambah dengan pajak.
Sedangkan Harga Jual adalah Harga BBM setelah dikurangi dengan subsidi atau setelah ditambah dengan margin yang diinginkan SPBU.
Selisih antara subsidi atau margin dengan harga kekonomian inilah yang menentukan untung-ruginya SPBU
Tahukah Anda bahwa sejak 2014 tepatnya semenjak mulai berlakunya Perpres No.191 Tahun 2014, BBM diklasifikasikan menjadi tiga jenis?
Melalui peraturan tersebut pemerintah membagi BBM menjadi tiga yaitu Jenis BBM Tertentu, Jenis BBM Khusus Penugasan, dan Jenis BBM Umum. Mari kita kupas satu persatu ketiga jenis BBM tersebut.
Jenis BBM Tertentu terdiri dari Solar dan Minyak Tanah yang wilayah pendistribusiannya mencakup seluruh wilayah di Indonesia.
Jenis BBM ini mendapatkan subsidi dari Pemerintah. Harga Jual BBM jenis ini ditetapkan oleh Pemerintah.
Selanjutnya adalah Jenis BBM Khusus Penugasan. Jenis BBM ini terdiri Premium yang wilayah penugasan distribusinya diluar Jawa dan Bali.
Jenis BBM ini tidak disubsidi oleh pemerintah. Sehingga berapapun harga jual yang ditetapkan oleh Pemerintah, baik itu menjadikannya untung atau rugi, akan dibebankan ke Pertamina.
Jenis BBM terakhir adalah Jenis BBM Umum yang terdiri dari Premium Jawa Bali, Pertamax series, dan Dex series. Jenis BBM ini tidak disubsidi Pemerintah.
Sebelumnya, penentuan harga jual BBM jenis ini ditentukan oleh badan usaha tanpa harus mendapatkan persetujuan Menteri ESDM.
Lewat Permen ESDM Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat atas Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2014, badan usaha harus mendapatkan persetujuan Menteri ESDM dalam penetapan harga jualnya. Sehingga berapapun harga jual yang ditetapkan oleh Pemerintah, baik itu menjadikannya untung atau rugi, akan dibebankan ke badan usaha tersebut.
Namun karena harga minyak terus naik, Pemerintah menerbitkan Permen ESDM Nomor 34 tahun 2018 yang mengatur kembali bahwa perhitungan harga jual eceran jenis BBM Umum di titik serah, untuk setiap liter ditetapkan oleh Badan Usaha.
Hitung-hitungan Harga Kekonomian BBM
Pemerintah melalui Permen ESDM No 39 tahun 2014 mengatur cara penghitungan harga keekonomian ketiga jenis BBM. Berikut adalah penjelasan hitung-hitungannya:
Tabel di atas menjelaskan hitung-hitungan Harga Keekonomian semua jenis BBM. Penjelasan masing-masing komponen adalah sebagai berikut:
a. Nilai Tukar
Nilai Tukar dihitung dari rata-rata kurs tengah Rupiah dari periode 3 bulan sebelumnya. Sehingga kurs yang dipakai saat ini (Juli, Agustus dan September) adalah rata-rata 3 bulan sebelumnya (April, Mei, dan Juni).
b. MoPS
Mean of Platt Singapore (MoPS) adalah rata-rata satu set penentuan harga produk minyak yang berbasis di Singapura yang diterbitkan oleh Platts, penyedia energi global, petrokimia, logam dan informasi pertanian dan merupakan salah satu divisi dari McGraw Hill Financial. Akses ke nilai MoPS ini berbayar. Namun kami mendapatkan nilai MoPS untuk periode sebelumnya dan melakukan regresi untuk harga crude oil sekarang.
- MoPS Solar didapatkan dari MoPS Gas Oil 0,25 Sulfur dikali konstanta 99,65%.
- MoPS Minyak Tanah didapatkan dari perbandingan MoPS minyak tanah dengan MoPS solar untuk periode sebelumnya dikali dengan MoPS solar sekarang.
- Berhubung harga MoPS dengan kadar oktan paling rendah adalah Mogas 92, maka pemerintah menggunakan koefisien 98,42 persen untuk menentukan HIP RON 88 alias premium
- MoPS Pertalite yang beroktan 90 dihitung dengan formula 90/88*MoPS Premium
- MoPS Pertamax yang beroktan 92 dihitung dengan formula 92/88*MoPS Premium
c. Alpha
Biaya alpha terdiri dari biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan biaya perolehan kilang dalam negeri atau impor, ditentukan oleh Pemerintah dan bisa mencapai 20%*MoPS.
d. Harga Dasar atau Harga Patokan
Nilai ini didapatkan dari perjumlahan antara MoPS dengan Alpha
e. Biaya Tambahan Distribusi
Berlaku hanya untuk BBM Khusus Penugasan dengan besaran 2%*Harga Dasar.
f. PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki besaran 10%*Harga Dasar.
g. PBBKP
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) memiliki besaran 5%*Harga Dasar.
Buntung di SPBU Pertamina
Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa saat ini Pertamina menjual semua jenis BBM di bawah harga keekonomiannya alias merugi.
Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan "pendapatan" Pertamina dari penyediaan Solar dan Premium dari sejak Perpres No.191 Tahun 2014 berlaku yaitu mulai Januari 2015 hingga Juni 2018:
Menyoal Dana Stabilitas BBM
Dari keseluruhan grafik di atas dapat kita perhatikan bahwa pada suatu waktu BBM tersebut dijual di atas harga keekonomian sedangkan di lain waktu BBM dijual di bawah harga keekonomian.
Kita ambil contoh harga Premium pada periode April -- Juni 2015 yang harga keekonomiannya ada di sekitar Rp 7000/liter naik pada periode Juli -- September 2015 dengan harga keekonomian Rp 8600/liter, lalu pada periode Oktober -- Desember 2015 turun ke angka Rp 6800/liter.
Jika kita perhatikan pada periode April -- Desember 2015 tersebut harga jual Premium adalah konstan di angka Rp 7300/liter. Mengapa demikian?
Inilah yang disebut dengan dana stabilitas BBM, yang mekanismenya adalah ketika harga minyak turun Pemerintah tidak serta merta menurunkan harga BBM untuk "menyimpan" margin yang kelak bisa dipakai Pertamina ketika harga minyak tinggi. Sehingga output dari mekanisme ini adalah stabilnya harga BBM ke masyarakat dan terbantunya keuangan Pertamina.
Kendatipun ketika Sudirman Said masih menjabat sebagai mentei ESDM, beliau sempat mengusulkan rancangan tentang aturan ini, namun demikian hingga saat ini payung hukum dan mekanisme pasti dalam penentuan margin untuk dana stabilisasi BBM ini belum juga dibuat oleh Pemerintah. Sehingga naik-turun harga BBM pun hanya berdasarkan hitung-hitungan keuangan Pertamina.
Kurangnya transparansi dalam hitung-hitungan harga jual itulah yang mengakibatkan misundertanding di masyarakat.
Bijaksana Menyikapi Harga BBM
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sejak 2004, Indonesia yang sebelumnya net exportir menjadi net importir minyak.
Dengan kebutuhan minyak di angka 1.6 juta barel dan produksi yang hanya 800 ribu barel, Indonesia perlu melakukan impor untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga mau tidak mau kita harus mengikuti harga minyak dunia.
Berbeda dengan negara kaya minyak dan net exportir yang bisa saja terus mensubsidi BBM rakyatnya, Indonesia lebih sulit untuk menekan harga minyak akibat impor tersebut.
Selain itu yang sebelumnya subsidi energi di APBN terus meningkat tiap tahunnya, mulai tahun 2014 porsinya terus dikurangi dan dialihkan ke sektor-sektor yang lebih produktif.
Walaupun begitu subsidi BBM boleh saja tetap diterapkan namun agar lebih tepat sasaran sebaiknya Pemerintah mulai merancang mekanisme subsidi bukan by product seperti saat ini melainkan by people. Sehingga BBM subsidi hanya boleh dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah maupun usaha-usaha kecil menengah.
Oleh:Â Khalid Umar
Referensi:
- APBN 2017 APBN 2018
- BPPT - Outlook Energi Indonesia 2017
- Statistik Migas 2015 Dirjen Migas ESDM
- Laporan Tahunan Migas 2014 Dirjen Migas ESDM
- Laporan Tahunan Migas 2016 Dirjen Migas ESDM