Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Poligami Menjadi Pilihan...

11 Mei 2011   16:51 Diperbarui: 11 Juli 2019   16:13 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi beberapa perempuan, poligami mungkin menjadi topik yang sangat sensitif. Tak jarang, ketika topik ini muncul, akan langsung ada yang responsif menolak. Dan ujung-ujungnya, biasanya akan berakhir dengan pernyataan, "Tidak ada perempuan yang mau dimadu..."

Buat saya, topik ini juga sangat sensitif. Ibu saya dahulu adalah seorang yang “alergi” dengan topik poligami. Ya, Ibu saya adalah produk dari seorang ayah yang berpoligami yang memberi trauma mendalam di hatinya hingga dewasa.

Begitu pula dengan Bapak saya, pilihan poligami dari ayahnya pernah membuahkan kisah yang juga kurang baik. 

Kisah-kisah yang sarat dengan kesakitan itulah yang kerap diceritakan Ibu saya semenjak saya kecil. Kisah yang selalu membuatnya menangis setiap bercerita adalah ketika Ibunya menangis mengisahkan kesedihan hatinya.

Hingga saya dewasa, persoalan poligami dari keluarga Ibu saya terus berkembang menjadi lebih kompleks. Hingga SMP, persoalan poligami kakek nenek saya sebetulnya tidak begitu mengganggu pikiran saya.

Tetapi mulai saya melanjutkan SMU di kota asal Bapak Ibu saya, saya baru menyadari bahwa poligami kakek saya ternyata mendapat perhatian bagi sejumlah orang di kota ini. 

Maklumlah, kota ini hanya kota kecil. Beberapa orang kawan dan juga orang dewasa yang saya temui kerap mempertanyakan tentang saya adalah cucu dari istri Mbah saya yang mana.

Bahkan, beberapa guru di sekolah, juga ada yang menanyakan bagaimana interaksi saya atau ibu saya dengan anak-anak dari istri muda Mbah saya. Tentu saja, hal-hal demikian cukup mengganggu. 

Namun saya memahami bahwa perhatian orang-orang tersebut lebih karena Mbah saya termasuk orang yang ditokohkan di kota tersebut saat itu serta beberapa noktah yang mungkin pernah tertorehkan dari rekam jejak mereka.

Ya, itu kisah waktu saya masih SMU. Saat ini, saya yakin sudah tak banyak yang mengenal siapa Mbah saya. Paling juga dari sesepuh kota atau mereka-mereka yang mungkin sudah di atas usia 50 tahun yang juga asli kota ini yang mungkin masih mengetahui atau setidaknya pernah mendengar tentang Mbah saya.

Kini... setelah 15 tahun berselang, saya menemukan fakta bahwa ternyata tidak semua perempuan menolak dipoligami. Sudah hampir 4 tahun ini, saya mengikuti kelompok kajian keIslaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun