Mohon tunggu...
Khairul Azan
Khairul Azan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Generasi Emas Itu Berawal dari Pendidikan Anak Usia Dini

17 Oktober 2017   21:13 Diperbarui: 17 Oktober 2017   21:22 7540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Petuah lama mengatakan bahwa "jika ingin merengkuh bambu maka rengkuhlah dari rebungnya". Kata-kata ini tepat sekali bahwa ketika kita menginginkan seorang anak atau generasi yang baik kedepannya maka perhatikanlah pendidikan anak di usia dini. Anak usia dini sering disebut juga golden ageatau generasi emas. 

Dimana pada generasi inilah seharusnya nilai-nilai luhur tentang kehidupan harus ditanamkan. Sebagaimana Friedrich Wilhem August Frobel sang pendiri Kindergarten atau dikenal sebagai Probel School mengatakan bahwa "Anak usia dini diibaratkan seperti tunas tumbuh-tumbuhan, masih memerlukan pemeliharaan dan perhatian sepenuhnya dari si "Juru Tanam". Probel School merupakan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini pertama di Dunia yang berdiri di Kota Blankerburg, Jerman.

Berdasarkan penjelasan di atas maka tidak heran saat ini pertumbuhan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangatlah signifikan. Dimana-dimana sekarang kita lihat bermunculan lembaga PAUD baik yang dilenggarakan oleh pemerintah maupun di bawah yayasan. Ini menunjukkan keseriuasan para pemerhati pendidikan tentang pentingnya pendidikan anak di usia dini.  

Secara definisi Pendidikan Anak Usia Dini dapat dipahami sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003). 

Adapun secara historis di Indonesia Pendidikan Anak Usia Dini atau sering disingkat PAUD itu sendiri berawal pada masa penjajahan Belanda. Seiring perjalanan waktu keberadaan PAUD mulai diakui oleh pemerintah pada tahun 1950 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Dimana di dalamnya tertuang bahwa PAUD yang pada saat itu masih diberi nama Taman Kanak-Kanak (TK) termasuk dalam Sistem Pendidikan Nasional. Pada tahun itu jugalah berdiri sebuah organisasi yang disebut Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI) tepatnya pada tanggal 22 Mei 1950 (Buku Kerangka Besar Pengembangan PAUD Indonesia Periode 2011-2025, Dirjen PAUDNI, Non Formal dan Informal, Kemendiknas Tahun 2011).

Berawal dari sanalah lembaga PAUD atau TK mulai dirintis sampai ke pelosok Negeri. Saat ini (2017) kita bisa melihat keberadaan PAUD atau TK menjadi perhatian yang luar biasa dari pemerintah dan orang tua yang ditandai dengan semakin besarnya animo masyakat untuk menyekolahkan anaknya masing-masing dan perhatian pemerintah baik dari sisi materil maupun non materil mulai meningkat meskipun terbilang lambat jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.

Meskipun terbilang lambat namun kita yakin bahwa keberadaan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia merupakan titik awal yang baik dalam melahirkan generasi emas dimasa yang akan datang. Generasi emas yang mampu menjadikan sebuah bangsa besar yang patut disegani oleh bangsa lain dimata dunia. Namun semuanya butuh proses. Semua elemen harus berkerja sama dengan baik. Masyarakat, orang tua harus mendukung program pendidikan yang diselenggarakan di sekolah, begitu juga sebaliknya. Karena jelas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa jalur pendidikan itu terbagi menjadi tiga yaitu pendidikan formal, non formal dan informal.

Pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah. Adapun pendidikan non formal adalah pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan masyarakat. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang diselenggarakan dilingkungan keluarga. Ketiga jalur tersebut harus saling mengisi, melengkapi dan saling memberikan nilai pendidikan yang luhur sebagai pondasi awal kehidupan anak yang lebih baik. 

Jangan mengharapkan anak bisa baik akhlak dan prilakunya ketika orang tua hanya memberikan tanggungjawab dan melepas sepenuhnya kepada sekolah tanpa ada kesadaran dari orang tua tentang pentingnya pendidikan anak dalam keluarga. Begitu juga sebaliknya jangan menuntut banyak kepada sekolah ketika masyarakat tidak bisa menghadirkan lingkungan yang mendukung untuk anak belajar memahami hidup lewat pendidikan  yang ada  lingkungan masyarakat.

Ini penting dipahami mengingat saat ini fungsi keluarga seolah-olah mulai tergeserkan dari fungsi yang sesungguhnya. Orang tua sibuk bekerja namun melupakan tanggung jawabnya sebagi pendidik pertama bagi anak-anak mereka. Masyarakat seolah-olah mulai acuh tak acuh dengan pendidikan bagi anak yang dihadirkan dalam bentuk  lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai positif. Dimana semua itu menjadi bagian dalam pendidikan  bagi anak sebagai generasi emas bangsa.

Oleh: Khairul Azan(Dosen STAIN Bengkalis & Ketua DPD GAMa Riau Kabupaten Bengkalis)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun