Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Polisi: Mengelola Kemitraan dan Rasa Takut Masyarakat

21 Maret 2015   02:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:20 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14268810431137918334

[caption id="attachment_374049" align="aligncenter" width="300" caption="Simulasi pengamanan gangguan ketertiban dalam Pemilu"][/caption]

Awal pekan ini, seorang anggota Polri di Cirebon menjadi korban penganiayaan kawanan 'geng motor'. Kejadian berawal dari upayanya melerai bentrok antar geng. Alih-alih takut dan menghentikan perkelahian, mereka malah mengeroyok sang petugas. Seolah unjuk kemenangan dan kekuatan, mereka lalu menelanjangi dan mengarak polisi naas itu keliling kota.

Polri selama lebih dari dua dekade terakhir telah dipompa dengan pola pikir dengan pendekatan angka-angka, berupa penurunan crime total dan peningkatan crime cleared. Padahal kepolisian yang maju selalu mengandalkan keberhasilannya dari kepuasan masyarakat dengan penilaian melalui penelitian. Sepanjang sejarah memang ruler appointed police, jenis polisi pemerintah seperti Polri, cenderung merentang jarak dengan masyarakat karena banyaknya kepentingan yang berseberangan.

Kejahatan terjadi akibat faktor-faktor sosial yang relatif tidak terlalu dikuasai oleh pihak kepolisian. Kebutuhan pencegahan kejahatan perlu dipusatkan kepada faktor-faktor sosial penyebab kejahatan dan bahwa hak asasi serta kebebasan individu merupakan pertimbangan yang esensial dalam kebijakan kepolisian yang demokratis (Friedmann, 1998).

Apabila polisi ingin mencegah kejahatan dengan cara-cara yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka polisi harus bertindak dengan mendasarkan diri pada strategi dan seperangkat taktik yang merupakan tanggapan langsung terhadap berbagai prioritas yang didambakan masyarakat yaitu memerangi ketidaktertiban, pengurangan rasa takut terhadap kejahatan dan peningkatan kualitas hidup daerah.

Pengabaian terhadap prioritas masyarakat hanya berarti bahwa polisi bertindak bertentangan dengan informasi terbaik yang dapat diberikan oleh masyarakat. Bila hal ini terjadi, mungkin saja masyarakat akan menarik diri secara fisik dari peranan-peranan saling mendukung dengan sesama warga dan dengan demikian melepaskan kontrol sosial yang dulu mereka bantu dan secara otomatis ikut mempersiapkan pelaksanaannya di lingkungan tempat tinggal mereka.

Memerangi ketidaktertiban, pengurangan rasa takut terhadap kejahatan dan peningkatan kualitas hidup daerah sebagai esensi program pembinaan Kamtibmas dapat dilakukan dengan cara menyertakan variabel rasa takut masyarakat dan ketidaktertiban ke dalam program-program penanggulangan kejahatan, lebih berorientasi pada masalah sosial dan kemasyarakatan dan bukan pembentukan citra atas dasar gebrakan tindakan polisi yang reaktif. Pemahaman yang jauh lebih baik tentang masyarakat dan berbagai kelompok di dalam masyarakat adalah mutlak perlu.

Tidak kurang juga pentingnya bahwa harus ada inisiatif dari masyarakat secara individu atau kelompok tanpa perlu menunggu polisi untuk menelaah dan memperbaiki layanannya. Hal itu juga berarti melalui semangat pemberdayaan dan rasa memiliki hak mengatur dirinya sendiri, masyarakat lalu memiliki kontrol yang lebih besar terhadap masalah-masalah yang tampak tak bermakna namun sebenarnya merupakan aspek penting dari pemberantasan kejahatan dan peningkatan kualitas hidup. Dan prakarsa itu akan menjadi efektif bila aktifitas itu merupakan aktifitas instrumental dan bukan simbolik semata sehingga keterlibatan masyarakat akan tampak berimbang dengan peran kepolisian.

Beberapa tahun lalu, Polri menyebutnya sebagai perpolisian berbasis masyarakat alias community policing (COP). Berbagai riset dan studi banding dilakukan baik oleh internal Polri maupun menggandeng sejumlah universitas menyedot dana yang lumayan besar. Sayang penerapannya setengah hati. Kini yang tersisa hanya tagline Polri Mitra Masyarakat, Poskamling berlabel Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) dan Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) binaan Jenderal Dai Bachtiar.

Padahal bila hal ini terwujud, maka polisi akan memperoleh wewenang pemeliharaan kamtibmas tidak saja dari hukum pidana dan organisasinya, namun juga dari masyarakat yang mereka amankan. Dan akhirnya polisi dan masyarakat secara bersama akan berupaya menentukan suatu ambang batas gangguan ketertiban dan aturan-aturan untuk lingkungan yang akan diberlakukan apabila ambang tersebut dilanggar. Sementara keterlibatan langsung dari para petugas kepolisian dalam proses ini merupakan kunci yang membantu pengembangan konsensus mengenai perilaku yang cocok dan cukup kuat untuk daerah setempat, agar dapat bertahan bahkan selama polisi tidak ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun