Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Bersosial Media yang Positif

17 November 2017   14:38 Diperbarui: 17 November 2017   14:46 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

"Krisis karakter yang kita alami saat ini, menjadi pekerjaan rumah bagi segenap lapisan masyarakan bangsa ini. Mari kita laksanakan peran masing-masing untuk menjaga keutuhan negara kita. Pemerintah yang berbudi pekerti yang baik, politikus yang bertutur kata yang luhur, tenaga pengajar yang berkarakter pendidik, dan penasehat agama yang bermental kasih sayang. Terkhusus bagi para pemuka peserta didik republik ini, para mahasiswa, ketuklah hati orang tua-orang tua kita untuk menjadi teladan bagi generasi muda bangsa ini. Robohkanlah kebencian yang berdiri mengangkang, dengan turun ke jalan tanpa aksi anarkis, membawa pesan positif dengan bahasa yang lembut, sekaligus menjadi palang utama revolusi mental dan penggerak pembaharuan karakter untuk Indonesia yang bermartabat."

Sembilan belas tahun silam, sudah hampir dua dekade, tepatnya pada 21 Mei 1998 ribuan, atau ratusan ribu, atau bahkan jutaan rakyat Indonesia menduduki gedung DPR/MPR RI dengan tekad yang sama yaitu "Reformasi harus terjadi". Jutaan manusia pada saat itu berkumpul tanpa pandang bulu. Semangat reformasi pada saat itu telah berhasil melebur kelas dan agama, menghimpun etnis dan golongan, dan memadukan kebhinekaan dalam satu entitas tunggal " Semangat Reformasi".

Diantara jutaan rakyat yang turun ke jalan pada saat itu, kebanyakan dari para Mahasiswa yang datang dari seluruh penjuru negeri. Pekikan "Reformasi!", "Demokrasi!", diiringi dengan Mars mahasiswa Totalitas Perjuangan, menjadi

Saksi bisu darah yang tumpah di tanah air kita ini, menjadi saksi bisu totalitas perjuangan mahasiswa untuk bangsa yang lebih baik, dan saksi bisu runtuhnya masa Orde Baru dan berkibarnya bendera "Reformasi" .     

Dan hampir dua dasawarsa kita menjalani era reformasi itu. Setiap individu memiliki hak yang sama dimata negara, hak untuk berdemokrasi, hak untuk berpendapat. Setiap individu bebas menyatakan pandangan, tiada sekat untuk menuliskan setiap gagasan, dan merdeka dalam menyampaikan pendapat. Namun, dilain sisi kebebasan ini menjadi bumerang bagi pemerintahan, politikus, bahkan bagi bangsa kita sendiri.

Kebebasan itu menjadi senjata bagi kelompok-kelompok tertentu untuk menjalankan misinya. Kebebasan tersebut menjadi andalan bagi pihak-pihak tertentu untuk menggerakkan propagandanya, dan sangat disayangkan kebebasan yang dulunya diperjuangkan dengan tumpahan darah dan dilandaskan dengan kemurnian hati, menjadi panjar bagi kalangan-kalangan tertentu untuk mewujudkan tujuannya. Seringkali kita menemukan konten-konten yang menebar kebencian. Kemudian tidak jarang kita disuguhkan dengan berita-berita HOAX yang tersebar di jaringan internet. Dan acapkali kita dijamu dengan gagasan-gagasan yang propokatif.

Menurut data yang diungkap oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) ada 132,7 juta pengguna internet Indonesia pada tahun 2016. Dalam surveinya disebutkan bahwa tiga media sosial: Facebook, Instagram, dan Youtube, menjadi primadona pengguna internet Indonesia.

Era reformasi yang dibalut dengan zaman digital citizenship(red:masyatakat digital) telah mencoreng wajah reformasi itu sendiri. Semangat reformasi yang diperjuangkan oleh rakyat bersama para mahasiswa, merupakan semangat yang luhur untuk negara yang lebih bermartabat, bangsa yang lebih luhur, dan generasi yang lebih beradab. Semangat reformasi itu dipersembahkan kepada pewaris peradaban yang harus mengemban tugas besar untuk mewarnai reformasi itu sendiri.  

Apakah kita akan menyia-nyiakan pengorbanan para mahasiswa yang rela diberondong peluru saat memekikkan "Reformasi harus terjadi". Akankah kita menodai perjuangan mereka dengan perseteruan yang akhir-akhir ini telah berhasil memecah belah kebhinekaan. Mungkinkah kita akan meneruskan perjuangan mereka dengan pembiaran-pembiaran yang kita lakukan melihat mental generasi muda bangsa ini yang semakin hari semakin mencapai titik nadir.

Propaganda flat earth (red:bumi datar) telah banyak memecah belah generasi muda bangsa ini. Generasi yang seharusnya menghabiskan waktunya untuk memajukan bangsa ini, malah asyik berdebat kusir tak kenal waktu dengan topik yang tidak akan memberikan dampak terhadap nilai tukar rupiah yang semakin hari semakin anjlok. Bulat tidaknya bumi, tidak akan merubah pijakan kita di bumi ini. 

Datar tidaknya bumi, tidak akan menampik teori-teori yang dicetuskan Newton. Karena titik pusat perdebatan itu seharusnya bukan pada datarnya bumi, bulatnya bumi, namun bagaimana kita memperlakukan bumi ini, apakah dengan mempercantiknya atau malah memperburuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun