Mohon tunggu...
Khairil Miswar
Khairil Miswar Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Pemulung Buku Tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik “Kaset Mengaji” dan “Polusi Suara”

11 Juni 2015   11:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:06 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terlebih lagi di bulan Ramadhan, suara pengajian di mesjid biasanya dilakukan sampai shubuh. Semua paham bahwa di bulan Ramadhan kita disunnahkan untuk bertadarrus Alquran. Rasul memerintahkan kita untuk memperbanyak bacaan Alquran di bulan Ramadhan, tapi tentunya bukan dengan pengeras suara yang dapat menganggu orang lain untuk beristirahat.

Kita sepakat bahwa membaca dan mendengarkan bacaan Alquran akan mendapatkan pahala dari Allah. Tapi kita juga mesti paham, bahwa ada sebagian kaum muslimin yang memilih membaca Alquran di rumah-rumah mereka, jangan sampai bacaan Alquran dengan pengeras suara di mesjid menganggu orang-orang yang memilih beribadah secara “tersembunyi” di kamar-kamar mereka.

Di sisi lain, membaca Alquran dengan maksud agar didengar oleh orang lain justru akan membuat kita terjerumus ke dalam sifat riya, di mana pahala itu sendiri akan berkurang. Kita dituntut untuk beribadah (termasuk membaca Alquran) dengan harapan mendapat ridha Allah, bukan justru mengharap puji manusia. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menganjurkan kita untuk membaca Alquran menggunakan pengeras suara, sehingga bacaan kita didengar oleh seluruh penduduk bumi.     

Kesyahduan Vs Kebisingan

Saya yakin, bahwa kita semua sepakat bahwa suara yang volumenya berlebihan akan menganggu pendengaran. Saya sepakat dengan Jusuf Kalla, bahwa suara bacaan Alquran itu harus syahdu dan tidak bising, karena kebisingan itu justru bisa mengurangi keindahan. 

Kesyahduan dan Kebisingan itu adalah dua hal yang antagonistik. Tidak ada kesyahduan yang bising, demikian pula tidak mungkin ada kebisingan yang syahdu. Kita tentu ingat dengan kisah Abu Bakar dan Umar bin Khattab Radhiallahu 'anhu. Dikisahkan bahwa Umar membaca Alquran dengan sangat keras, kemudian Rasul meminta Umar untuk mengecilkan suaranya sedikit. Sebaliknya, Abu Bakar membaca Alquran dengan suara yang terlalu kecil, kemudian Rasul meminta Abu Bakar untuk mengeraskan suaranya sedikit. Dari kisah ini kita bisa memahami bahwa bacaan Alquran itu tidak terlalu keras sehingga membuat bising dan tidak pula terlalu rendah sehingga tidak kedengaran sama sekali. Kesyahduan bacaan Alquran itu terletak di antara keduanya.

Kita juga pasti ingat dengan kisah beberapa orang sahabat yang memeluk Islam disebabkan mendengar bacaan Alquran. Sudah pasti bacaan yang syahdu-lah yang membuat mereka terpesona dan akhirnya memeluk Islam. Dalam kesyahduan itulah orang-orang kafir pada masa Nabi tersentuh hatinya. Bacaan Alquran yang syahdu membuat mereka dapat meresapi makna kalam Allah itu dengan sepenuh hati, sehingga mereka berpaling dari kekafiran mereka. Wallahul Musta’an.

*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam, dan juga mantan santri di Dayah Darussa’dah Cot Bada, Bireuen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun