Sudah dua momen pemilihan presiden (Pilpres) di Indonesia, saya merasakan bagaimana taste (semangat) saya menonton televisi terutama program berita terjun bebas ke titik terendah bila itu diukur. Dalam pengalaman saya pilpres benar-benar membuka ruang pemisahaan dari profesionalisme jaringan televisi di Indonesia karena sikap dukung mendukung calon tertentu. Fakta bahwa jaringan televisi dikuasainya oleh mereka-mereka yang menguasai partai politik dan kemudian menyetel jaringan mereka.
Idealnya bahwa stasiun-stasiun televisi mampu menjaga netralitas dan profesionalismenya atau tidak terjebak dalam pusaran pemilihan dalam menyajikan berita atau program-programnya sehingga masyarakat seperti saya tetap memiliki semangat (selera) untuk menonton televisi. Suasana persaingan dalam "merebut" hati pemilik televisi begitu kentara sehingga di masa-masa pilpres benar-benar bagi banyak orang televisi tidak layak ditonton.Â
Apakah tidak baiknya bila televisi tetap berada di jalur "bebas" menjelang pilpres? Kenapa televisi harus juga menempatkan diri pada posisi tertentu ketika pilpres sehingga mempengaruhi sikap masyarakat dalam menikmati tayangan televisi? Menjelang pilpres di bulan April, jiwa saya begitu berontak untuk tidak menonton televisi Indonesia, karena sajiannya sangat tidak menarik dibandingkan tayangan-tayangan hari-hari jauh sebelum pilpres. Rasanya banyak orang yang merasakan hal yang sama bahwa di musim pilpres televisi sangat pantas untuk di"singkirkan" atau disimpan karena pertimbangan tadi.Â
    Â