Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Wake Up! Ternyata Kita Belajar Teknologi Nano dari "Museum"

1 Januari 2022   09:28 Diperbarui: 1 Januari 2022   11:37 1417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti berjalan di jejeran rak museum buku digital, artikel-artikel tentang teknologi nano dan nano sains berjejer di internet, yang membuat jari lelah untuk membrowsing. Bahkan ada sebuah web bernama nanowerk.com sengaja mengumpulkan tulisan tentang nano sejak 2006. Belum lagi sumber dan referensi lainnya yang cukup banyak.


Entah dari mana harus mulai. Namun, ketika Inisiator Bukit Algoritma dan Ketua Gerakan Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sudjatmiko membuka pembicaraan nanotechnology dan nanosains melalui channel Wake up-nya, maka saat inilah persoalan Nano ini pas untuk "diledakkan".Pertimbangannya bukan karena  latah. Tapi desakan nanotechnology yang sudah tidak bisa dibendung. Budiman dengan kekesalannya berkata, "Kita terlalu lama mendengar lagu kolam susu. Selamanya tongkat kayu dan batu jadi tanaman." Padahal, usai nanotechnology ditemukan para ahli di luar negeri terus berebut mematenkan penemuan-penemuan mereka.Contoh yang paling pas untuk membicarakan Nanosains dan nano technology salah satunya adalah menyoroti pembuatan daging sapi budi daya (sintetis). Dengan membahas ini anggap saja kita melihat samudra luas nanotechnology, dari satu sisi pantai yang cukup representatif untuk menggambarkan betapa hal ini sudah harus diantisipasi.

Bicara masalah pembuatan daging sapi budi daya ini juga tampak ironis, yang mungkin membuat kita tertawa dalam hati. Sebab, saat teknologi nano yang terkait dengan pembuatan daging sintetis tengah booming di dunia, jajaran peternakan di Tanah Air beberapa tahun silam justeru sedang berdebat untuk meningkatkan populasi sapi dan berdebat soal sapi impor ketika kebutuhan daging melonjak.

Memang ini tidaklah salah. Meski di balik itu, pemikiran "out of the box" belum jadi tradisi yang kuat. Umumnya berpilkir apriori. Kalaupun teknologi nano terkait daging sintetis itu diungkapkan, analisisnya akan mengarah ke tradisi pangan masyarakat Indonesia yang tidak memiliki tradisi makan daging jenis itu.

Sama halnya ketika kita bicara pangan alternatif. Pembicaraan akan mengarah pada analisis bahwa masyarakat kita tidak memiliki tradisi makan singkong, makan jagung atau bentuk pangan alternatif lainnya selain beras.

Repotnya, masalah kebutuhan daging di Indonesia itu sangat besar. Tapi konsumsinya terfokus di Jakarta.

Di tengah kebutuhan daging yang tinggi bahkan dengan harga yang kadang melonjak, wacana mengenai daging alternatif pun nyaris tidak terdengar di Tanah Air.

Sementara di dunia, daging budi daya ini sudah mulai dijual pertama kali di dunia di Singapura tahun lalu, setelah perusahaan rintisan teknologi pangan Eat Just menerima izin penjualan. Eat Just mengumumkan bahwa mereka telah menerima persetujuan regulasi pertama di dunia oleh otoritas Singapura.

Sekadar untuk mengingatkan tingginya konsumsi daging dan kebutuhan daging yang terus meningkat, daging budidaya menawarkan sejumlah alternatif untuk dikembangkan sebagai makanan untuk masyarakat . Meski proses pembuatannya di laboratorium, daging budidaya ini merupakan daging asli.

Dalam Journal of the Science of Food and Agriculture, Wiley-Blackwell, John Wiley & Sons, mengungkapkan daging budi daya ini diambil dari stem cells atau sel punca yang mempunyai potensi sangat tinggi untuk berkembang menjadi banyak jenis sel.

Stem cells dimasukkan ke media pembiakan yang disebut scaffolds. Jika sudah tumbuh
ditempatkan didalam bioreaktor dan dibiakkan pada media pertumbuhan cepat.
Kemudian terjadi proses diferensiasi dari stem cells menjadi myoblasts, myotubes dan myofibril.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun