Mohon tunggu...
Khadeejannisa
Khadeejannisa Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

بسم الله Menulis adl caraku berbagi dan bercerita

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hate Speech, Korelasi Antara Status dengan Prestise Perempuan

1 Juli 2022   20:13 Diperbarui: 1 Juli 2022   20:15 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perempuan..

Selalu memiliki sisi-sisi yang menarik untuk dikulik, baik dalam artian positif maupun negatif. Kali ini kita akan coba membahas soal perempuan berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Pilih mana..menjadi perawan tua ataukah janda muda?  Keduanya adalah pilihan yang sulit, bukanlah hal yang mudah untuk dijalani dan seakan menjadi momok yang ditakuti para perempuan karena.

Pertama, Perawan Tua. Sebutan untuk gadis yang cukup berumur namun belum menemukan pasangan hidup. Satu sisi mempertahankan keperawanan merupakan suatu kebanggaan tersendiri di zaman modern dimana pergaulan bebas dianggap sebagai hal yang wajar. Namun di sisi lain juga sering menjadi cibiran kalangan tertentu dengan menjudge "terlalu selektif lah, sok jual mahal atau dibilang perlu diruwat (istilah dalam bahasa Jawa untuk ritual membuang kesialan, membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh buruk khususnya hal-hal magis)". Daripada berpikiran positif seperti "mungkin saja masih banyak pertimbangan yang membuat si gadis belum memantapkan diri untuk masuk ke jenjang pernikahan yang sakral, misalkan saja sedang mempersiapkan kondisi mental dan psikis; mengutamakan kepentingan lain yang sifatnya lebih urgensial; ataupun ada beberapa halangan yang menjadi hambatan lainnya. Entah sejak kapan berlakunya tradisi bahwa gadis berusia 25 tahun keatas dan belum menikah akan dijuluki "perawan tua" yang kedengarannya sangat mengganggu diri sendiri dan keluarga terdekat tentunya. Beberapa orang yang tak sanggup menahan beban ini pada akhirnya akan mengalah dan memaksakan diri untuk segera terbebas dari kutukan "perawan tua" yang menakutkan tersebut. Bersyukurlah jika berawal dari kondisi keterpaksaan tersebut akan berujung pada ikatan pernikahan yang sejati. Namun bagaimana bila sebaliknya hanya sebatas keegoisan demi gengsi semata dan berujung pada rumah tangga yang rumit nan toxic. Bukankah mirip dengan hastag pe*adaian "menyelesaikan masalah nambah masalah?" Sungguh dilematis

Next Problem, Janda muda. Sebutan untuk perempuan dalam range usia produktif dan pernah menikah sebelumnya, entah ditinggal mati ataukah cerai hidup. Sedikit lebih kompleks daripada julukan "perawan tua", dimana status ini seringkali memiliki stigma negatif di masyarakat kita. Janda kembang, gatel, pelakor, jablai, blablabla yang terkesan subjektif memojokkan seseorang karena status pernikahannya, bukan secara objektif menilai bagaimana karakteristik seseorang. Mungkin memang ada kejadian beberapa orang yang  melakukan tindakan tercela seperti yang dituduhkan tersebut, namun bukankah menjadi pembenaran jika penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian kecil mengakibatkan sebagian yang lain dianggap melakukan hal serupa. Tanpa disadari judgement/ pelabelan negatif atas status "janda" bisa menimbulkan luka batin tersendiri. Bisa jadi sebenarnya mereka masih menyimpan sisa luka atas masa lalu yang pernah dialami. Disaat sedang berusaha bangkit atau bahasa kerennya "Move On" ternyata harus menghadapi ketidaknyamanan dalam bentuk lain.

Bisa ditarik kesimpulan bahwa kedua kondisi tersebut bukanlah hal yang diinginkan oleh para perempuan yang mengalaminya dan julukan yang disematkan juga terasa mengganggu. Berusaha untuk menjauhi topik bahasan "genderisasi" namun nyatanya tetap mengarah ke titik yang sama. Laki-laki dengan status sosial yang sama, biasa disebut dengan "Bujang lapuk" (sebutan untuk laki-laki dewasa yang terlambat menikah di batasan usia standar menikah negara ini) atau juga "duren" (singkatan dari duda keren, sebutan untuk laki-laki yang pernah menikah sebelumnya, diidentikan dengan kemapanan finansial ataupun ketampanan fisik). Laki-laki dengan kedua status tersebut tidak merasakan gangguan atau ketidaknyamanan sebagaimana yang dirasakan perempuan. Terlihat ada ketimpangan beban moral maupun psikis diantara laki-laki dan perempuan yang menjadi subyek penderitanya. Alangkah lebih bijak jika tidak lagi menjalin hubungan keterikatan antara status sosial seseorang dengan individu itu sendiri. Sebagaimana quotes yang sering kita dengar "Don't judge a book by it's cover" * Deeja (https://pixabay.com/id/photos/selfie-gadis-indonesia-asia-jilbab-5033379/ )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun