Mohon tunggu...
Tishia
Tishia Mohon Tunggu... Menulis

Ada diantara pikiran

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Duka yang Tak Ternama

13 Juni 2025   01:05 Diperbarui: 16 Juni 2025   16:31 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Pexels/Alex Green

Aku bertanya pada hatiku yang hening,
namun ia diam seperti bintang jauh yang bisu.
Air mata menuruni pipi seperti hujan dari langit tak bernama,
dan aku tak mengerti dari mana luka itu berakar.

Ada kehampaan yang menyelimuti nafasku,
tak bertepi, tak berujung,
seperti malam yang kehilangan fajar.
Kesendirian menari di dalam dadaku,
dan kegelisahan jatuh satu demi satu,
seperti daun gugur yang tak sempat berbisik pada angin.

Aku takut, namun bukan pada bayangan,
melainkan pada kekosongan yang hidup di balik mataku sendiri.
Aku terluka, namun bukan oleh pedang,
melainkan oleh bisikan waktu yang membawaku menjauh dari diriku sendiri.

Jiwaku menjerit bukan karena kesakitan,
melainkan karena tak lagi dikenali oleh kehidupan.
Semangatku, dahulu seperti matahari yang menyala,
kini berserakan seperti abu impian yang dilupakan angin.

Cinta yang kupeluk dengan seluruh ragaku
telah pergi tanpa pamit,
hilang bersama desir angin yang tak kembali.
Dan aku, hanya setetes embun
yang menanti pagi,
tanpa tahu apakah mentari akan sudi datang lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun