Aku bertanya pada hatiku yang hening,
namun ia diam seperti bintang jauh yang bisu.
Air mata menuruni pipi seperti hujan dari langit tak bernama,
dan aku tak mengerti dari mana luka itu berakar.
Ada kehampaan yang menyelimuti nafasku,
tak bertepi, tak berujung,
seperti malam yang kehilangan fajar.
Kesendirian menari di dalam dadaku,
dan kegelisahan jatuh satu demi satu,
seperti daun gugur yang tak sempat berbisik pada angin.
Aku takut, namun bukan pada bayangan,
melainkan pada kekosongan yang hidup di balik mataku sendiri.
Aku terluka, namun bukan oleh pedang,
melainkan oleh bisikan waktu yang membawaku menjauh dari diriku sendiri.
Jiwaku menjerit bukan karena kesakitan,
melainkan karena tak lagi dikenali oleh kehidupan.
Semangatku, dahulu seperti matahari yang menyala,
kini berserakan seperti abu impian yang dilupakan angin.
Cinta yang kupeluk dengan seluruh ragaku
telah pergi tanpa pamit,
hilang bersama desir angin yang tak kembali.
Dan aku, hanya setetes embun
yang menanti pagi,
tanpa tahu apakah mentari akan sudi datang lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI