Mohon tunggu...
Kevin Marandika Arizona
Kevin Marandika Arizona Mohon Tunggu... Lainnya - Fotografer

Sedang merintis karir sebagai fotografer peristiwa alias pewarta foto dan penggemar olahraga bernama sepakbola. Mengunggah tulisan jika senggang atau sekedar menghabiskan waktu kala tidak memotret.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Olahraga yang Kompleks Itu Bernama Sepak Bola

2 Oktober 2022   23:37 Diperbarui: 2 Oktober 2022   23:42 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: vk.com

Sekedar pengantar tulisan atau basa-basi, saya menggarisbawahi bahwasannya saya hanyalah seorang penggemar olahraga biasa, tapi masalah netralitas terhadap suatu insiden atau peristiwa itu masih bisa diperdebatkan di kolom komentar nanti. Kalimat awal tersebut cukup menjadi penegasan bahwasannya kita harus menjaga kata demi kata yang keluar dari tangan ataupun mulut saat berkomentar tentang olahraga yang dikenal sebagai "sepakbola". Seperti yang kita tahu seksama, definisi sepakbola yang paling dasar adalah permainan beregu di lapangan, menggunakan bola sepak dari dua kelompok yang berlawanan, yang masing-masing terdiri atas sebelas pemain dan tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan kemenangan. 

Jika kita mundur lebih jauh lagi, berdasarkan literatur sejarah sepakbola yang bertebaran, sepakbola pertama kali lahir Di China, pada zaman pemerintahan kaisar Cheng-Ti (32 SM), terdapat literatur juga yang mengatakan bahwa sudah ada sejak abad 2 SM. Adapun di dalam buku Kong-FuConficus, peninggalan tentara China, tertera gambar-gambar tentang orang bermain sepak bola. Jenis permainan tersebut pada waktu itu disebut Tsu-Chu (Tsu = kaki dan Chu = bola yang terbuat dari kulit dan dalamnya berisi rumput). Namun, menurut literatur FIFA "History of Football-Origins", sepakbola semi-modern lahir pertama kali di tanah Inggris pada tahun 1863.

Sepakbola menjadi cabang olahraga paling populer di dunia dengan jumlah penggemar mencapai 4 miliar orang berdasarkan data dari World Atlas. Penduduk bumi saja berjumlah kurang lebih 7 miliar, bisa dilihat bahwasannya lebih dari setengah penduduk bumi adalah penggemar sepakbola. Luar biasa? tentu saja. Akan tetapi, jika kita melihat sepakbola dari kemasannya saja maka yang terlihat hanyalah permainan dari kaki ke kaki yang indah, pertahanan yang kokoh, aksi yang ciamik atau blunder-blunder fatal. Padahal banyak aspek yang bisa dilihat lebih dalam lagi mengenai olahraga tersebut.

Sepakbola bukan hanya sekedar menang dan kalah, tetapi ada pelbagai daya magis yang melekat bahkan lebih dari dua hal tersebut. Bagi saya pribadi, aspek seperti fanatisme, chauvinisme, bahkan sebuah manifesto perjuangan ada di dalam tubuh sepakbola. 

Apakah ini terlalu alay? ah, bagi saya tidak karena ini adalah bagian dari realita. Contoh yang paling kecil adalah manusia mana yang ingin melihat sepakbola di kandang lawan yang jaraknya ratusan kilometer, apalagi bertandang ke kawasan rival. Olahraga ini bahkan bisa membuat orang-orang lupa akan adanya surga dan neraka, bahkan Tuhan (bagi yang percaya). Bagaimana tidak? para manusia di stadion saja bisa mengkonsumsi fanatisme secara ekstrim hingga menimbulkan adegan kematian di dalam bahkan di luar stadion.

Politik dan konflik sangat dekat dengan sepakbola bahkan cenderung 'harmonis'. Mau jauhkan keduanya dari sepakbola? saya rasa tidak akan bisa. Berkaca kepada pengertian politik menurut Miriam Budiarjo (2008) dalam bukunya 'Dasar-Dasar Ilmu Politik' sebagai usaha untuk menggapai kehidupan menjadi lebih baik dengan cara tertentu. 

Saya rasa pengertian tersebut juga relate dengan sepakbola saat ini. Toh, setiap tim sepakbola berlaga selalu ada aspek politis seperti aturan jam tayang, kuota suporter, harga tiket, verifikasi lapangan dan sebagainya, tujuan dasarnya apakah untuk mengubah pertandingan menjadi lebih baik atau ada udang dibalik batu? tentu saja hanya mereka-mereka yang bisa menjawab. Pertandingan sepakbola bukan hanya tentang politik lokal dan identitas saja, bahkan saat ini sudah masuk kepada politik gender. Dari aspek politis tersebut, bisa memicu terjadinya konflik di lapangan, tribun bahkan luar stadion sekalipun.

Namun, apakah konflik sepakbola hanya sebatas itu? menurut saya tidak, bahkan menurut seluruh insan manusia juga tidak. Berbicara konflik dalam sepakbola tentu saja berbicara munculnya rivalitas. Saya mengambil contoh rivalitas bertajuk Old Firm Derby di Skotlandia antara Glasgow Celtic kontra Glasgow Rangers. Penggemar sepakbola mungkin tahu bahwasannya laga klasik tersebut penuh dengan intrik sejarah yang kuat dan berkaitan dengan politik dan agama. Apa? agama? ya, satu lagi polemik masuk dalam ranah sepakbola.

Sentimen agama sangat kuat mengakar di kota Glasgow, perseteruan antara penganut Protestan dan Katolik sudah berlangsung lama. Suporter Celtic yang menganut katolik dan Rangers yang menganut protestan 'saling sikut' dalam konteks jasmani dan rohani bahkan masuk kedalam pandangan politik. 

Selain itu rivalitas keduanya sering dikaitkan dengan sentimen pendukung kerajaan Inggris Raya dan Republik Irlandia Utara. Rangers merupakan loyalis dari kerajaan Inggris Raya sedangkan Celtic kerap diidentikkan dengan pro-pembebasan, anti-penindasan bahkan kerap disandingkan dengan teroris IRA yang memiliki cita-cita membangun Republik Irlandia. Manifesto-manifesto tersebut semakin membuat sepakbola kian menarik perhatian.

Tentu saja, Old Firm Derby bukanlah satu-satunya rivalitas yang memiliki latar belakang historis yang kuat. Liga Inggris masih ada Liverpool vs Manchester United yang erat kaitannya dengan ekonomi industri, Liga Spanyol ada Madrid vs Barcelona yang syarat akan manifesto perjuangan rakyat catalan. Liga Israel terdapat suporter paling rasis di dunia yaitu La Familia. Suporter Beitar Jerusalem yang sangat anti terhadap bangsa Arab dan berasaskan konservatif nasionalis. Tak mau kalah, di Argentina terdapat laga bertajuk "Superclasico" yang mempertemukan River Plate dengan Boca Junior. Sebuah rivalitas yang diwarnai bumbu si kaya dan si miskin dari kawasan ibu kota Argentina, Buenos Aires. Pengakuan Joel Richard dalam bukunya yang berjudul 'Superclasico: Inside the Ultimate Derby', legenda Manchester United, Eric Cantona dibuat ngeri saat hadir menonton langsung Superclasico.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun