Mohon tunggu...
Ketut Suasti
Ketut Suasti Mohon Tunggu... -

Karyawan Swasta

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ubud dan Kapitalis Pariwisata

17 Juni 2015   09:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fans jejaring media sosial di Bali seperti disentakkan oleh tulisan bertajuk “Meratapi Ubud, Korban Keserakahan” yang ditulis di blog ahotalk.wordpress.com. Tulisan itu ramai di-share dijejaring media sosial dan kemudian diberi komentar berlembar-lembar. Seperti baru bangun tidur, kaum muda intelektual Bali baru menyadari perubahan “wajah” Ubud, desa yang sudah meng-internasional sejak dikenalkannya pariwisata di pulau ini puluhan tahun lalu. Padahal baru beberapa tahun sebelum ini masyarakat Bali masih menyangka Ubud masih “baik-baik” saja sebab dunia internasional menyanjung Bali usai beredarnya film Julia Robert “Eat, Pray and Love”. Bagaimana Ubud berubah dari desa yang tenteram dan damai menjadi desa metropolitan, yang dalam tulisan itu disebut telah kehilangan aura spiritualnya? Bagaimana peran budaya Bali masa kini yang diharapkan menjadi pagar dalam mempertahankan keaslian Ubud, termasuk manusia dan alam sekitarnya?

Ubud, yang telah dianggap sebagai ikon pariwisata Bali yang disebutkan mewakili perwajahan budaya Bali, tentu tak bisa dilepaskan dari perkembangan zaman. Teknologi serta dinamisasi dunia diserap Ubud sebab desa ini tak terisolasi dari dunia luar seperti desa Tenganan Pegringsingan (Karangasem). Keterbukaan ini telah pula melahirkan perkawinan dengan budaya luar (akuluturasi), baik budaya lokal Indonesia maupun budaya Barat. Perkawinan dengan budaya luar seperti contoh adanya percampuran aliran yang dianut pelukis-pelukis Ubud, sebuah bukti fleksibilitas orang Ubud dalam mengakomodir budaya luar. Pernikahan campuran antara keluarga puri Ubud dengan orang-orang asing juga tidak pernah dipermasalahkan, bahkan diterima dengan baik tanpa adanya pergesekan. Seperti ritme kehidupan orang Bali, semua mengalir begitu saja. Percampuran budaya tidak pernah diperdebatkan, tetapi diserap dan dijadikan bagian dari perkembangan budaya Bali itu sendiri.

Sebagai salah satu destinasi wisata tingkat internasional, tak bisa dipungkiri jika Ubud memiliki nilai ekonomis sangat tinggi yang akhirnya mengundang para kapitalis ingin menanamkan modalnya di tempat ini. Pertumbuhan fasilitas pariwisata  baik hotel, vila, restoran, tempat rekreasi ataupun destinasi pariwisata baru, mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Ubud menjadi ramai dan mengarah pada kota yang metropolis. Di mana-mana kelap-kelip gemerlap industri pariwisata terasa, bahkan hingga di pelosok Ubud. Secara kasat mata, memang benar, Ubud terkesan kehilangan “taksu” atau aura magisnya. Namun gemerlap metropolis itu masih diimbangi dengan ikon-ikon budaya Bali, seperti : ukiran, lukisan, patung atau benda-benda seni lainnya. Kapitalis telah merubah perwajahan Ubud menjadi setengah metropolis meskipun tetap ada sentuhan tradisionalnya. Kekentalan budaya Ubud selama ini masih mampu bertahan dan bahkan “mendikte” para kapitalis untuk mengikuti aturan-aturan adat setempat. Keberadaan kapitalis didukung oleh masyarakat setempat karena buktinya segala perijinan usaha telah mendapat izin lingkungan sekitar, bukan? Apakah ini bukan merupakan sebuah contoh akulturasi yang lembut dan tidak menyakitkan budaya itu sendiri? Keberadaan kapitalis bukanlah sebuah pemaksaan dan pemerkosaan atas budaya setempat itu?

Perkembangan zaman di era digital ini, termasuk derasnya kedatangan budaya asing, tak mampu dibendung oleh budaya mana pun, termasuk Ubud. Alih-alih menolak apalagi mengisolasi diri, masyarakat Ubud yang dinamis pun membutuhkan kontak dengan dunia luar dan mengikuti perkembangan zaman. Industri kreatif berbasis rumah tangga yang menjadi salah satu penyokong ekonomi kerakyatan, seperti : kerajinan tangan, ukiran, lukisan, dll, membutuhkan tangan-tangan kapitalis untuk memasarkannya ke luar negeri. Perdagangan industri tersebut yang dilakukan dari internet tentu tak bisa dilakukan jika Ubud masih memiliki cara pandang puluhan tahun lalu. Ubud juga pasti tidak mau hanya dijadikan sebagai “tontonan budaya” dan tidak mendapatkan manfaat dari industri pariwisata tersebut. Masyarakat Ubud adalah subjek budaya dan bukan objek budaya, apalagi objek wisata. Masyarakat Ubud pun mendapat manfaat dari kehadiran kapitalis, terbukti dengan tidak adanya penolakan frontal masyarakat Ubud.

Sentuhan metropolis dan kapitalis di Ubud memang benar telah menghapuskan aura magisnya, tetapi tudingan itu tidak boleh serta merta ditujukan kepada masyarakat Ubud. Ubud bukan hanya milik masyarakat Bali atau Indonesia, tetapi milik dunia. Mengembalikan aura Ubud seperti pada masa lalu tentu tidaklah bijak tanpa meninjau lebih dalam apa sebenarnya kemauan masyarakat Ubud itu sendiri. Jangan jadikan mereka sebagai “tontonan budaya” yang mesti menjaga keaslian budaya lokal mereka tanpa memberi ruang buat mereka untuk mengikuti perkembangan zaman dan bekerja sama dengan dunia luar melalui tangan kapitalis.

Tanpa memungkiri adanya peluang keserakahan dari kaum kapitalis yang ingin mengeruk keuntungan di Ubud sebesar-besarnya, biarkanlah masyarakat Ubud yang menyaring dan menindaklanjutinya. Masyarakat Ubud terlihat masih mampu memegang kendali atas kehadiran kaum kapitalis dan keserakahan kapitalis masih dalam batas-batas yang belum melenyapkan budaya lokal. Kaum kapitalis pun sangat berkepentingan atas eksisnya budaya Ubud, sebab jika budaya ini lenyap maka Ubud tidak menarik lagi dan tidak ada wisatawan yang mau datang ke sana. Maka simbiosis mutualisme itu pastilah ada.

Masyarakat Ubud telah berjuang untuk mempertahankan tradisinya, nilai-nilai spiritualnya, tetapi tuntutan zaman pula yang menyebabkan mereka mesti dinamis dan mengubah sedikit budayanya untuk menyesuaikan dengan zaman itu sendiri. Jika aura spiritual itu tergerus oleh kehadiran kapitalis, maka itu adalah sesuatu yang juga merupakan efek dari dinamisasi budaya. Kita tidak hanya bisa mengharapkan efek positif dari keberadaan kapitalis, tetapi juga mesti menerima efek negatifnya. Seperti juga kita tidak mampu melarang sebuah budaya untuk berkembang dan menyerap budaya luar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun