Tiba-tiba saja, muncul seorang lelaki bertelanjang dada dengan tergesa-gesa. Lelaki itu bernama Pan Leong. Lelaki paruh baya yang juga sama-sama bebotoh kelas kampung. Melihat kedatangan Pan Leong ke pekarangan rumahnya, lelaki itu pun kian kalap.
"Ngapain kamu berani menginjakkan kaki ke pekarangan rumahku? Ngapain, ah?" tanya lelaki itu dengan dengan nada tinggi, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Pan Leong dengan telunjuk kirinya. Mukanya sinis. Pan Leong yang mendapat perlakuan seperti itu tidak tinggal diam. Percekcokan pun tidak dapat dihindari.
"Aku datang ke sini karena mendengar tantanganmu. Paham!" jawab Pan Leong.
"Siapa yang menantangmu?" sergah lalaki itu.
"Tadi teriakan undanganmu mengumpat-umpat itu bukanlah salah satunya menantangku?" jawab Pan Leong dengan nada tinggi sambil berkacak pinggang.
"Jadi kau merasa diundang ya? Ah... ini rupanya pembunuh ayam-ayamku. Uh...tidak sulit rupanya melacak pelakunya," balas lelaki itu dengan wajah sinis.
"Apa kau bilang? Jangan main tuduh sembarangan kau! Aku bisa saja laporkan kau dengan pasal pencemaran nama baik," ujar Pan Leong geram.
Tiba-tiba saja lelaki itu memegang leher Pan Leong. Pan Leong tidak berdiam diri. Ia membalas perlakukan lelaki itu. Warga yang melihat kejadian itu, secepat kilat melerai. Beruntung  perkelahian tidak sampai berlanjut. Suasana jadi hening. Warga lalu memilih diam dan membubarkan diri.
Namun, lelaki itu tidak lantas diam. Ia masih saja ngoceh tidak karuan. Memandangi ayam-ayamnya yang sudah kaku tak bernapas.
"Pasti dia! Sudah pasti dia pelakunya. Aku ingat ayamku yang papak selem sudah dua kali mengalahkan ayamnya si Leong bangsat itu!" umpatnya.
Mendengar suaminya masih saja terus mengumpat, istrinya pun memberanikan diri memberi saran, "Sudahlah Beli. Hentikan berpraduga. Belum tentu ayam-ayam Beli mati karena diracun orang. Mungkin memang sakit."