Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Jejak Sastra

3 Agustus 2018   21:31 Diperbarui: 3 Agustus 2018   21:57 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: thinkstock

Hakikat pembangunan nasional merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, baik fisik maupun mental. Pelaksanaan pembangunan mencakup semua aspek kehidupan bangsa, yaitu aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan secara berencana, menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap dan berkelanjutan untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju.

Maraknya berbagai tindak kejahatan, kekerasan, bunuh diri, maupun bentuk-bentuk tindakan amoral lainnya yang terpapar di berbagai media cetak dan elektronik belakangan ini menandakan bahwa hakikat pembangunan nasional belumlah berimbang. Sepertinya ada ketimpangan antara pembangunan fisik dan pembangunan mental, sebagai salah satu penyebab berbagai tindakan tidak terpuji di atas.

Terbatasnya masa jabatan para pemimpin (dari pusat sampai ke daerah) yang maksimal hanya dua periode, seakan menjadi "jalan pintas" para pemimpin lebih mengedepankan pembangunan di sektor fisik karena hasilnya jelas dan cepat terlihat. Dengan cara seperti itu, para pemimpin tersebut akan kelihatan berhasil. 

Sedangkan pembangunan di sektor mental, utamanya pendidikan investasinya besar dan hasilnya tidak akan terlihat secara instan, bahkan mungkin butuh waktu puluhan tahun. Tentu hal ini akan tidak menguntungkan dari sisi pencitraan sang pemimpin. 

Padahal, sejatinya para pemimpin hendaklah benar-benar melaksanakan amanat dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Upaya untuk membangun mental adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu melalui pembangunan sektor pendidikan (formal maupun nonformal). Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No.20/2003 yang pada Pasal 3 disebutkan bahwa "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab".

Ilustrasi
Ilustrasi
Memaknai apa yang diamanatkan oleh UU No. 20 tahun 2003 tersebut, jelas terkandung makna bahwa pendidikan di negara kita tidak saja menghasilkan insan bangsa yang cerdas dengan kemampuan IPTEKS dan kreativitas yang tinggi; namun juga beriman, berakhlak mulia yang dilandasi nilai-nilai luhur budaya dan kepribadian bangsa, yang tecermin dalam kehidupan sehari-hari, yang bersumber dari nilai-nilai luhur kearifan lokal dan lokal genius bangsa. 

Yang tidak kalah penting, perlu adanya terobosan yang visioner dari para pengambil kebijakan yang bisa mengajak dan menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psiko-sosial masyarakat maupun dunia pendidikan.

Karya sastra, bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung mereka memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra sampai mereka dewasa.

Dalam konteks demikian, sastra memiliki kontribusi penting dalam upaya melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral seperti yang diharapkan.                 Itu artinya, mau atau tidak, institusi pendidikan (formal maupun nonformal) harus memosisikan diri menjadi "benteng" utama apresiasi sastra melalui pengajaran yang dikelola secara tepat, serius, dan optimal, sehinggga berbagai tindak kejahatan, kekerasan, bunuh diri, ataupun tindakan amoral yang kerap terjadi belakangan ini setidaknya dapat kita redam, bahkan kita harapkan tidak terulang lagi.

Hal itu diakui oleh B.P. Situmorang (dalam Sarjono, 2001), yang mengatakan bahwa sastra perlu diajarkan agar mereka mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.Hal ini dapat memupuk jiwa estetis, jiwa keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur moral (etika), untuk mengalihkan kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang lebih positif melalui apresiasi sastra.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun