Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sundih Leak

2 Juli 2018   07:15 Diperbarui: 3 Juli 2018   19:33 3255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: nikonschool.it

Bulir-bulir embun meretas tipis bersama malam, membasahi daun-daun pohon salak yang menari pilu bersama lekukan angin malam. Gesekan antar daun-daun berduri kecil itu bagai harpa alam yang menyenandungkan kidung kegetiran. Aku terduduk, termangu dalam gigil dinginnya Sasih Karo.

Malam itu rembulan lagi enggan muncul. Hanya bintang-bintang kecil yang berkedap-kedip menghiasi langit. Bersama tujuh karibku, aku meratapi sunyi di keheningan malam di atas pelepah pohon nira yang telah mengering di pedalaman kebun salak.

Berjejer rapi bertujuh, melepaskan pandangan ke arah selatan di pebukitan Pedalit. Sebuah perbukitan yang menjadi batas desaku dengan desa tetangga, Desa Selumbung, wilayah kecamatan Manggis. Malam itu kami sedang menunggu. 

Ya, menunggu cahaya misterius yang akan menyemburat di kaki langit Bukit Pedalit. Yang menurut orang-orang tua di kampungku di kenal dengan istilah "sundih leak". Maklumlah, saat itu di sekitar Bukit Pedalit ada orang yang meninggal. Mayatnya masih di semayamkan di rumahnya. Jadi, itulah yang dianggap sebagai pemicu akan munculnya sinar-sinar misterius itu.

Waktu menunjukkan pukul 23.00. Hari kedua kami mencari hiburan malam yang sensasional dan mendebarkan. Suasana hening. Tiba-tiba ada sinar menyemburat dari arah barat yang diiringi langkah-langkah kaki menapaki jalan setapak di kampungku, yang masih gulita tanpa diterangi aliran listrik. Langkah-langkah kaki itu kian mendekat, bersama cahaya yang menembus kegelapan malam.

"Huhuuk...huhuuk...huhukkk". Suara batuk-batuk itu menyadarkan aku bersama teman-teman lainnya akan adanya orang yang sedang melintas di jalanan setapak memanfaatkan penerang lampu senter.

"Kruek...kruekkk...kreuekkk". Tiba-tiba saudara sepupuku, I Ketut Yadnya mengeluarkan suara menyerupa kera. Mungkin ia bermaksud menakut-nakuti orang yang sedang melangkah di jalan itu. Mungkin juga ia ingin menunjukkan sikapnya yang berani dalam kegelapan.

Langkah kaki itu tiba-tiba terhenti tepat di jalanan bawah tempat duduk kami. Dengan sinar lampu senter di tangannya, terlihat sekilas bayangan jika orang itu adalah lelaki. Ya, seorang lelaki bertubuh jangkung berkain sarung yang menghentikan langkahnya, lalu buang air kecil sesukanya di pinggir jalan.

Saudaraku, I Ketut Yadnya memang agak jahil dan suka usil. Ia tak menghentikan mengeluarkan suara-suara meniru kera itu, yang memancing sang pengembara malam mengarahkan cahaya lampu senternya ke arah kami di tengah perkebunan salak.

"Hehem...! Ngujang drika? (Sedang ngapain di sana?)" Tiba-tiba sepotong pertanyaan meluncur dari mulut lelaki tua yang melintas malam itu sambil menyembulkan asap rokok. Walaupun malam pekat hanya disaksikan cahaya senter dan kerlip bintang, kami kenal betul siapa pemilik suara itu. Suara itu sungguh tidak asing lagi di telingaku, juga kerabatku.

"Itu pasti suara We Tantra," pikirku. We Tantra di kampungku dikenal sebagai sosok orang tua yang selalu berpenampilan necis dan berprofesi sebagai 'jero balian'. Rasanya sangat wajar jika ia tidak takut ketika diuji nyalinya oleh sepupuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun