Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah "Home Visit" Seorang Wali Kelas

4 Februari 2018   09:48 Diperbarui: 4 Februari 2018   10:05 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Home Visit Seorang Wali Kelas

Oleh I Wayan Kerti

Hujan lebat yang mengguyur wilayah Karangasem, khususnya di Kecamatan Abang pada hari Sabtu, 3 Februari 2018 sekitar pukul 15.00 Wita, tidak menyurutkan niat dan langkah saya selaku wali kelas 8-H SMP Negeri 1 Abang untuk mengunjungi anak didik saya, I Kadek Mahardika yang memang jarang masuk. Tercatat awal semester genap tahun ini saja sudah belasan kali tidak masuk dengan berbagai alasan. Koordinasi dengan guru BK, I Made Swastika, S.Pd. saya lakukan. 

Kami berangkat bersama dengan diantar salah seorang siswa tetangga Kadek. Sekitar 20 menit perjalanan ke arah Gunung Agung, akhirnya berakhir setelah menyusuri jalan semak-semak yang kecil dan licin di tengah-tengah tanah tegalan. Nampak sebuah gubuk menyendiri di perkebunan tersebut, dan itulah katanya rumah I Kadek Mahardika, menurut petunjuk siswa yang turut mengantar.

Betapa miris dan merasa prihatin, ketika dengan mata kepala sendiri saya melihat kondisi keluarga dan kehidupan serta keadaan rumah anak didik saya, I Kadek Mahardika di Br. Dinas Pidpid Kaler Dauh Margi atau yang lebih dikenal dengan lingkungan Natar Sari, Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem-Bali. Daerah ini termasuk daerah KRB 2 pada kondisi status Gunung Agung seperti sekarang. Sore itu ternyata I Kadek Mahardika sedang menjaga dan menyuapi adiknya yang paling bungsu (usia 3 tahun).

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Kehadiran saya dan guru BK dengan maksud bertemu dengan orangtuanya tidak membuahkan hasil. Sore itu, hanya mereka berdua yang ada di gubuk sepi di tengah hujan deras yang mengguyur. I Kadek Mahardika adalah anak pasangan I Made Ardika dengan Ni Nyoman Kunti, sebagai anak ke dua dari empat bersaudara. Mahardika meyambut kehadiran kami dengan lugu dan penampakan rawut wajah yang sedikit ketakutan sambil membentangkan selembar karpet plastik kumal di balai gubuknya. 

Ketika saya tanyakan dimana ibu dan ayahnya, Mahardika dengan wajah polos menuturkan bahwa ayahnya merantau bekerja sebagai kuli proyek di kota Denpasar, dan biasanya hanya pulang sebulan sekali. Lalu, ibunya pun selalu pergi pagi-pagi sebagai buruh pengupas kelapa di Kota Amlapura dan akan kembali malam dengan di antar oleh bosnya. 

Kakak sulungnya juga katanya merantau di Denpasar. Tinggallah Mahardika bersama dua orang adiknya yang masih kecil-kecil (satunya sudah besekolah SD). Lebih lanjut, Mahardika bercerita bahwa ia akan berangkat ke sekolah jika mendapatkan motor pinjaman dari kerabatnya. Tentang adik-adiknya, ia akan titipkan di rumah neneknya.

Berangkat dari tuturan dan melihat langsung keadaan yang sebenarnya, saya jadi berpikir dan merasa prihatin betapa berat tanggung jawab yang diemban oleh anak didik saya yang harus menjaga dan mengurus dua orang adik yang masih kecil-kecil, belum lagi ternak peliharaan orang tuanya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi fisik dan psikologinya, dan teman saya yang guru BK pastilah lebih paham itu.

Pantaslah  jika dalam kesehariannya di sekolah, ia sering terlihat murung, tidak mau bergaul, tidak konsentrasi, dan mengantuk. Batin saya seakan mengamini juga mengapa ia malas, bahkan pada semester ini tidak pernah hadir pada mata pelajaran Penjas Orkes yang dilaksanakan pada pagi hari (laporan guru Penjas Orkes). Bagaimana ia bisa hadir, jika Mahardika kecil harus berangkat ke sekolah dengan motor pinjaman, itu pun jika ia dapat meminjam. Sedangkan angkutan pedesaan tidak menjangkau wilayah itu. Jika berjalan kaki, mungkin memerlukan waktu sejam untuk sampai ke sekolah.

Melihat kondisi rumahnya yang hanya berdindingkan ayaman bambu yang terlihat bolong-bolong, tanpa pelafon, berlantaikan tanah, tanpa listrik, sumber air bersih, apalagi tv atau HP, hati kecil saya juga serasa membenarkan jika kedua orang tuanya harus pergi membanting tulang untuk bisa menghidupi kebutuhan keempat orang anaknya. Apalagi, kehidupan di desa yang penuh dengan adat dan tradisi, sudah barang tentu juga memerlukan biaya lebih di luar biaya makan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun