Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Ngelekas"

31 Desember 2017   06:38 Diperbarui: 31 Desember 2017   08:48 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.merdeka.com

"NGELEKAS"

(Solusi Ekonomi Di Tengah Badai Erupsi)

Oleh I Wayan Kerti

Di tengah situasi ancaman erupsi Gunung Agung, perekonomian masyarakat Karangasem, khususnya di daerah KRB (Kondisi Rawan Bencana) menjadi lumpuh. Bahkan sumber pemasukan PAD Kabupaten Karangasem pun menjadi "hancur", minus triliunan rupiah sejak Gunung Agung (GA) berstatus Awas (level IV). Bali yang mengandalkan pendapatan dari sektor pariwisata pun terdampak.  Objek-objek wisata di Bali menjadi sepi, terlebih di Kabupaten Karangasem. Banyak pekerja yang terpaksa di rumahkan atau bekerja secara aplusan.

Negara pun merugi ketika Bandara Seleparang (Lombok) dan Ngurah Rai sempat ditutup beberapa hari karena dampak abu vulkanik saat erupasi tanggal 27 November 2017 yang lalu. Kerugian negara juga tidak tanggung-tanggung, bahkan mencapai triliunan juga. Menjadi pertanda bahwa GA adalah "roh" Karangasem, "jantung"nya Bali, bahkan "urat nadi"nya Indonesia. Tumpuan utama PAD Kabupaten Karangasem adalah "mutiara hitam" yang menjadi penyangga pembangunan di daerah Bali. Yang bernyali, mencoba berani tetap menggali demi sesuap nasi.

Di tengah situasi yang melanda daerah kami seperti sekarang ini, masyarakat Karangasem utamanya, bahkan masyarakat Bali juga haruslah pintar-pintar "ngelekas". "ngelekas" adalah sebuah istilah yang terkesan mistik. "Ngelekas" diidentikkan dengan ilmu hitam yaitu "ngeleak". Menurut keyakinan masyarakat Bali, bahwa dalam proses "pengeleakan" akan didahului dengan ritual "pengelekasan", yaitu perubahan batin dari sang pemilik ilmu hitam.

Dampak perubahan batin yang ditimbulkan oleh proses "ngelekas" adalah munculnya perubahan wujud fisik si mpunya ilmu. Ada yang berwujud binatang, raksasa, api, bade,dan sebagainya. Yang bisa melihat hanyalah orang-orang tertentu yang juga memiliki ilmu kebatinan, atau masyarakat yang beraura negatif. Jadi kesan dari istilah ngelekas itu menjadi teramat seram dan mistis. Prosesi itu pun biasanya berlangsung pada hari-hari rerahinan (hari keramat), seperti; Kajeng Kliwon; Tilem (bulan gelap); Sasih Desta (sekitar bulan Mei-Juni).

Meminjam istilah teman saya, I Nyoman Tingkat dalam di setiap candaannya di WA group Alumni, beliau selalu memunculkan istilah "ngelekas" yang ditanggapi negatif oleh rekan-rekan yang lain, karena sabahat yang lain masih berpikir tentang "ngelekas" secara mistis. Menurut Pak Tingkat, bahwa "ngelekas" zaman now adalah perubahan fisik maupun batin yang kita lakoni dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya; orang-orang desa diistilahkan paginya cari kayu bakar; siangnya dipakai memasak; lalu sore harinya "ngarit" (mencari pakan ternak); malam harinya mereka bisa menjadi penari; penabuh atau fungsi penghibur lainnya di daerah wisata di sekitaran Bukit, Nusa Dua, atau Kuta-Bali. Berbagai profesi yang dilakoni dalam sehari-hari tersebut, tentu akan menyesuaikan pula dengan penampilannya. Ketika mendapat berbagai pengalaman dari berbagai profesi tersebut, secara otomatis batin mereka juga berubah. Jadi "ngelekas" zaman Now memiliki makna yang berbeda dengan zaman dahulu. Sebuah makna yang bernuansa positif.

Jika dikaitkan dengan situasi di Bali saat ini, khususnya di Kabupaten Karangasem, masyarakat hendaknya bisa "ngelekas" era Now untuk mengatasi berbagai terpaan hidup akibat badai erupsi GA. Tidak hanya masyarakat di daerah KRB harus bisa "ngelekas", tetapi masyarakat terdampak pun harus sanggup juga "ngelekas" agar dapur mereka tetap mengepul. Bagi masyarakat di kamp-kamp pengngsian, sampai saat ini masih bisa tetap makan berkat bantuan para donatur dan pemerintah.

Tetapi masyarakat daerah terdampak yang tidak berhak mendapat jatah logistik pengungsi tetap kesulitan mengatur dapurnya karena minimnya lapangan kerja, bahkan mulai langka. Mereka juga tidak hanya perlu makan, tetapi berbagai perut harus diisi. Mulai dari "perut" HP, "perut" motor, perut anak-istri, dan biaya-biaya hidup lainnya. Semua harus berjalan, pendidikan anak harus jalan. Tradisi adat budaya yang memakan biaya mesti juga harus tetap terjaga. Jika kita tidak bisa "ngelekas" saat kondisi seperti ini, tentu kita akan terhempas oleh keadaan.

Masyarakat di beberapa kamp-kamp pengungsi menghimpun diri membuat berbagai kerajinan tangan dari bambu, daun lontar, ate,atau bahan dasar lainnya. Hasil kreativitas mereka dijual ke pasar-pasar atau bahkan para donatur yang datang ke kamp-kamp mereka. Mereka telah "ngelekas" secara terpaksa. Dari dulunya penambang pasir, pengembala ternak, pedagang, dan sebagainya di tempat asal. Kini, mereka berwujah wujud menjadi pengerajin 'paksaan' agar dapat tambahan penghasilan. Ya, "ngelekaslah".

Pola pikir mereka juga turut berubah. Dari mungkin yang sudah biasa menikmati hidup berkecukupan, belajar bersyukur dalam kesederhanaan hidup di pengungsian. Diberikan kesempatan masih hidup saja mereka sudah bersyukur sekali. Anak-anak yang terbiasa riang di rumahnya masing-masing dengan beraneka hiburan, kini di pengungsian sepi dari sarana hiburan. Hanya kadang-kadang saja menikmati hiburan dari para relawan. Pola pikir mereka telah "ngelekas" juga menyesuaikan dengan keadaan.

Masyarakat terdampak pun kini banyak yang "ngelekas" juga.  Yang dulunya berprofesi sebagai sopir angkot di pedesaan misalnya, kini terpaksa jualan makanan di warung-warung dekat pengungsi. Tidak sedikit pula muncul dagang dadakan untuk berebut rezeki demi sesuap nasi. Banyak karyawan hotel yang di rumahkan terpaksa pula berubah wujud, banting setir mencari pekerjaan lain.

Lembaga-lembaga keuangan nonpemerintah, utamanya koperasi-koperasi kecil (UMKM) gulung tikar karena rus atau nasabahnya tidak sanggup bayar karena ngungsi. Mau tidak mau para karyawannya harus "ngelekas" pula lari ke kabupaten lain mencoba mencari peruntungan baru. Denpasar, Badung, dan Gianyar mrnjadi tujuan utama untuk mencari kerja. Bekerja di sektor yang baru membuat  mereka juga harus bisa mengubah skill diri ("ngelekas"). Para pemilik pengusaha galian C kecil banyak yang gulung tikar, dan entah seperti apa pula mereka harus merubah "wujud dirinya".

Dipisit PAD kabupaten Karangasem pun membuat pengambil kebijakan harus memutar otak agar roda pemerintahan tetap bisa berjalan, dan layanan masyarakat juga berjalan. Itu artinya, pemerintah utamanya para pengambil kebijakan harus pandai pula "ngelekas" untuk mencari dan mengatur sumber anggaran. "Ngelekas" zaman Now sepertinya menjadi sebuah keharusan untuk mengahadapi tantangan hidup dengan mengubah/mencari profesi tambahan dan mengubah image gengsi sebagai sebuah perwujudan "ngelekas" yang hakiki.

Salam tanggung "semeton" Karangasem. Mari kita belajar "ngelekas" agar kehidupan kita tetap berlangsung dengan mengambil profesi apa saja yang mendatangkan rezeki secara halal dengan melepas pola pikir gengsi (pilih-pilih pekerjaan) di tengah ancaman badai erupsi GA yang entah kapan akan berakhir.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
#Minggu,31-12-2017*Sibetan rumah inspirasi#

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun