Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Problematika Presidential Threshold: Sebuah Kompromi Demokrasi untuk Oligarki

24 Agustus 2022   12:00 Diperbarui: 24 Agustus 2022   12:00 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Mahkamah Konstitusi

Penulis: Jansen Jayadi

Untuk kesekian kalinya, uji materi terhadap pasal yang mengatur batas ambang pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebuah upaya berulang-ulang ini tampaknya belum dapat memenangkan kedaulatan rakyat seutuhnya dari tangan-tangan oligarki. Pasal yang dimaksud ialah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 222 yang mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang ingin mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden haruslah memperoleh sekurang-kurangnya 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25% suara sah nasional pada pemilihan umum. (1) Hal yang sering menjadi pertanyaan, mengapa harus ada syarat ambang batas mencalonkan presiden dan wakil presiden? Padahal, dalam Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada ketentuan yang mewajibkan adanya syarat minimum ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Berdasarkan UUD 1945 pasal 6 ayat (1), "Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden". Dalam pasal 6 ayat (2) dijelaskan bahwa "Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang." (2) 

Uji materi terakhir diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. Alih-alih mempertimbangkan argumen penggugat, MK malah menolak uji materi tersebut dengan dalih DPD tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi terhadap pasal tersebut. Pihak yang berhak mengajukan gugatan terhadap pasal tersebut hanyalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik. (1) Dari syarat tersebut saja, terlihat jelas bahwa hanya dengan partai politiklah rakyat dapat mengajukan gugatan uji materi terhadap pasal yang mengatur tentang syarat pencalonan pemimpin negara ini. Namun, apakah wajar jika syarat tersebut menjadi dalih? Bukankah rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara ini seperti yang tertulis dalam UUD 1945? Berdasarkan pasal 27 ayat (1) UUD 1945, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” (2) Dalih MK menolak gugatan terkesan membuat Undang-Undang Pemilu bersifat eksklusif dan tidak mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi rakyat sendiri. Sebuah ironi memang. tetapi faktanya kita mengetahui bahwa sangat sulit, bahkan mustahil, untuk menemukan partai politik yang betul-betul mendasarkan diri pada kebutuhan dan kepentingan rakyat. 

Presidential Threshold dari Masa ke Masa

Di Indonesia, presidential threshold pertama kali dibuat pada tahun 2003 melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 5 ayat (4). Pada pasal tersebut, tertulis bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang ingin mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memperoleh minimal 15% kursi di DPR atau 20% dari suara sah nasional pada pemilu legislatif. Aturan tersebut diterapkan sejak pemilu 2004, yaitu tahun pertama dilakukannya pemilihan presiden secara langsung. Lima tahun kemudian, pada 2009, presidential threshold naik menjadi sekurang-kurangnya 25% kursi DPR atau 20% suara sah nasional dalam pemilu. Dengan ketentuan tersebut, terdapat tiga pasang calon presiden dan wakil presiden yang maju dalam kontestasi pemilihan. Begitu juga dengan tahun 2014, presidential threshold tidak berubah, tetapi pasangan calon yang maju hanya ada dua pasang calon. Barulah pada tahun 2019, presidential threshold diturunkan menjadi sekurang-kurangnya 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu. Dengan penurunan tersebut, jumlah calon presiden dan wakil presiden tidak berubah, yakni 2 pasang calon. (4)

Presidential Threshold: Demi Stabilitas atau Ancaman Polarisasi?

Sering menjadi pertanyaan bagi kita semua, untuk apa ada presidential threshold? Bukankah hal tersebut hanya membatasi kebebasan demokrasi warga negara untuk dipilih dalam kontestasi pilpres? Tidak hanya membatasi hak untuk dipilih, tetapi juga hak untuk memilih calon pemimpin yang mereka inginkan? Kita melihat bahwa pada tahun 2014 dan 2019, pemilihan calon presiden dan wakil presiden hanya diikuti oleh dua pasang calon. Salah satu rasionalisasi adanya presidential threshold adalah untuk menjaga stabilitas politik, terutama dalam hal hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sedikit mengilas balik ke pemilu tahun 2004, saat itu, ada lima pasang calon presiden dan wakil presiden yang mengikuti pemilu. Kemudian, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) keluar sebagai pemenang. Namun, pendukung mereka tidak memiliki “pamor” di DPR. Akibatnya, banyak terjadi ketidakharmonisan hubungan antara eksekutif dan legislatif sehingga menghambat jalannya pemerintahan pada periode tersebut. Sejak saat itu, presidential threshold mulai dinaikkan persentasenya agar ketidakharmonisan tersebut tidak berlanjut ke periode selanjutnya. (5) 

Adanya presidential threshold juga dinilai dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses penyelenggaraan pemilu. Efisiensi ini merujuk pada tahapan penyelenggaraan pemilu yang wajib dilakukan dalam 2 tahap jika pasangan calon presiden dan wakil presiden belum memenuhi syarat suara sah. Menurut Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provisi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”(6) Pada tahun 2004 dan 2009, peserta pilpres ada lebih dari 2 pasang dan pemilu diselenggarakan dalam 2 kali tahap karena pada tahap pertama, tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% suara sah nasional. Hal ini dinilai memakan lebih banyak waktu dan menelan anggaran yang tidak sedikit. Dengan adanya presidential threshold, kontestasi pemilu dianggap dapat berjalan lebih efektif dan efisien dalam segala aspek.

Melihat kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019, hanya ada 2 pasang calon presiden dan wakil presiden pada saat itu. Kita merasakan betul polarisasi yang begitu kuat dan tidak sehat selama tahun politik tersebut. Ditambah lagi dengan fakta bahwa calon presiden yang maju adalah kandidat yang sama dengan calon presiden tahun 2014. Banyak caci maki dilontarkan antarpendukung yang berseberangan. Hal tersebut tidak dapat dimungkiri merupakan salah satu dampak persyaratan ambang batas pencalonan presiden yang terlalu tinggi. Presidential threshold yang terlalu tinggi membuat hanya partai-partai besar yang dapat mencalonkan jagoan-jagoan terbaiknya. Jika partai dengan kursi minim di parlemen ingin ikut mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, mau tidak mau, mereka harus berkoalisi dengan partai yang lebih besar. Hal ini sangat mungkin menyebabkan calon pemimpin yang kita miliki berasal dari kalangan yang “itu-itu saja”. 

Sebelum pilpres 2019, partai koalisi pemerintah sudah menguasai sekitar 60% kursi parlemen. Mengejutkannya, ketimpangan kursi di parlemen semakin menguat usai gelaran pilpres 2019 setelah 2 partai oposisi memutuskan bergabung ke koalisi yang membuat partai koalisi pemerintah menguasai hingga 81,9% kursi parlemen, angka yang fantastis untuk sebuah negara demokrasi. (7) Hal ini membuat kekuasaan pemerintah menjadi overpower karena tidak seimbangnya kekuatan koalisi dan oposisi di parlemen. Ketika ada suatu rancangan peraturan diajukan di DPR, perdebatan cenderung menjadi tidak substantif karena hampir seluruh partai memiliki satu suara. Memang, sisi positifnya adalah proses pembuatan suatu undang-undang berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat meminimalisasi hambatan jalannya pemerintahan pada periode tersebut. Namun, hal ini dapat merusak check and balance antara pemerintah dan DPR yang berujung pada pemerintahan yang cenderung otoriter dalam membuat suatu keputusan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun