Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mitos Procrustes dan Ujung Senja Penanganan Korupsi di Indonesia

12 Juni 2021   00:48 Diperbarui: 12 Juni 2021   01:22 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely"

-John Dalberg-Acton

Procrustes ialah seorang anak dari Poseidon yang memiliki sebuah kasur besi untuk menidurkan korbannya. Apabila korbannya tersebut lebih pendek dari panjang kasur, ia akan dipalu dan digepengkan hingga ukurannya pas dengan kasur. Sebaliknya, apabila korban tersebut lebih panjang dari ukuran kasur, ia pun akan dipotong hingga ukurannya pas dengan kasur.1 Alegori ini mengajarkan kita tentang ketidakadilan, yaitu ukuran raja dijadikan patokan pasti dalam menilai keadilan serta melihat bagaimana peran KPK dicincang habis-habisan demi menuruti kemauan rezim. Kisah Procrustes ini  merupakan sebuah adagium yang pas dalam melihat kondisi negeri kita tercinta ini.

Reformasi 23 tahun yang lalu menandai berakhirnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto memberikan implikasi signifikan dalam membuat Indonesia menjadi negara yang demokratis. Keruntuhan rezim orba ini merupakan buah hasil rakyat Indonesia atas maraknya korupsi oleh pemerintahan orba. Tindak korupsi merupakan akar masalah fundamental bangsa yang mengakibatkan jatuhnya suatu rezim pemerintah yang telah berkuasa 32 tahun berturut-turut.2 Maka dari itu, KPK lahir pada 2002 sebagai anak kandung reformasi yang memiliki tugas dan kewenangan memberantas korupsi. Baru-baru ini, marak isu hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) di mana total ada 75 orang, termasuk Novel Baswedan yang diberhentikan karena tidak lulus tes tersebut. Tes ini tidak kalah memantik tawa rakyat. Pasalnya, terdapat pertanyaan-pertanyaan tidak relevan seperti "kenapa belum menikah?" dan "apakah salat Subuh menggunakan qunut atau tidak?".3 

Merajalelanya korupsi yang kronis ini tak lepas dari kekuasaan oligarki sejak era orde baru. Sebagaimana tertulis di dalam buku Reorganising Power in Indonesia (2004), kuasa oligarki ini tak runtuh bahkan pascareformasi.4 Terlebih lagi, mereka semakin menggurita dengan menyesuaikan diri pada sistem pemerintahan desentralisasi yang cocok dengan sistem ekonomi-politik yang pro pasar bebas. Rezim Jokowi pun tak dapat lepas dari kuasa oligarki yang sangat digdaya dengan aktor-aktornya yang merangkap sebagai politisi. Bisa dibilang sangat sulit membedakan mana yang penguasa dan pengusaha saat ini. Tercatat bahwa hampir 50 persen dari total 575 kursi DPR-RI ini diduduki oleh mereka yang terafiliasi dengan perusahaan. Tercatat pula 262 orang menduduki posisi strategis seperti komisaris, pemilik saham, atau direksi di berbagai perusahaan.5 Hal ini semakin menegaskan relasi koncoisme antara pemerintah dengan kroni oligarki di sebuah negeri patron-klien bernama Indonesia. (Indonesia: Ini Soenda Nusantara)

Tidak asing apabila kita merujuk pada buku karya Ben Bland berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia, yang menyatakan bahwa Jokowi adalah sosok yang kontradiktif dengan menganggap demokrasi hanya sebagai alat untuk meningkatkan kehidupan masyarakat -- bukan sebagai tujuan.6 Meskipun begitu, kebijakan yang dilakukan Jokowi selalu berkiblat pada ekonomi, ia pun rela mengorbankan segalanya demi ekonomi, termasuk demokrasi. Disinggung pula dalam buku tersebut bahwa pelemahan lembaga antikorupsi adalah jalan pemuas oligarki. Kroni oligarki dan rezim ini melahirkan sebuah frasa "man of the real-worlds politics". Pada suatu hari di sebuah dialektika politik, terjadi perdebatan antara Jurgen dengan Niccolo terkait definisi politik.7 Bagi Jurgen, politik adalah pengejaran kebaikan bersama (common good). Hal ini bertolak belakang dengan pandangan Nicollo bahwa politik merupakan praktik kotor yang hanya melegalkan kekuasaan belaka. Dapat disimpulkan bahwa pandangan Jurgen ini merupakan politik normatif, sementara Nicollo adalah politik pragmatis. Dalam buku II Principe karya Nicollo, ia menegaskan bahwa untuk menjaga kekuasaan terdapat dua cara. Pertama, biarkan masyarakat berada di dalam ketidaktahuan. Kedua, biarkan masyarakat berada di dalam ketakutan.

Cara melenggangkan ketidaktahuan dalam rakyat ini adalah dengan memusnahkan segala potensi perlawanan yang ada -- seperti sebuah kerajaan tunggal yang tak dapat ditaklukkan. Hal ini dicapai dengan menghilangkan segala narasi dan ide yang beredar dalam ruang dialektika akal sehat masyarakat. Terkait dengan membuat rakyat dalam ketakutan, Niccolo membeberkan pernyataan menarik bahwa lebih baik ditakuti daripada dicintai. Menurutnya, ketakutan lebih mengikat daripada rasa cinta. Kedua narasi dalam buku Niccolo ini sangat familier dalam kehidupan berbangsa kita, yang mana segala ide dan narasi yang beredar telah dibungkam dan direpresi dengan keras oleh rezim. Bahkan akhir-akhir ini, nomor telepon Novel Baswedan dan petinggi-petinggi KPK yang jujur pun diduga diretas.8

Buzzer politik yang kerap dipergunakan merupakan cara untuk mengelola persepsi publik (penggiringan opini) sehingga menurunkan pemahaman publik akibat buramnya antara mana yang benar dan mana yang salah. Contoh, karena buzzer politik aktif mengunggah konten bahwa politisi X begitu merakyat, warganet dapat menyimpulkan bahwa politisi X tersebut benar-benar merakyat. Pada pola yang kedua, sangat familier dengan penggunaan UU ITE untuk merepresi mereka yang mengkritik rezim dan pemerintahan. Celotehan "awas tukang bakso depan rumah" merupakan realisasi nyata bahwa masyarakat sadar bahwa terdapat ketakutan dalam diri mereka untuk bersuara. Sejumlah aksi massa seperti #Reformasidikorupsi, #GejayanMemanggil yang menyerukan penolakan korupsi dan RUU KPK pun selalu direpresi dengan brutal. Kajian-kajian yang dibuat mahasiswa dan para ahli di bidang penanganan korupsi pun selalu diabaikan oleh rezim. Dalam konteks ini, mahasiswa dan para ahli ini sedang menderita cassandra complex.

Cassandra adalah seorang dewi yang sangat cantik yang dapat meramalkan segala sesuatu dengan akurat.9 Suatu hari, dewa perang Apollo ingin melamar Cassandra, tetapi Cassandra menolaknya. Apollo yang sangat murka pun mengutuk Cassandra dengan kutukan bahwa ramalan dan prediksinya tidak akan pernah dipercaya oleh orang lain. Cassandra pun hidup dengan luka psikologis yang mendalam dan rasa sakit hati. Tanpa kita sadari, Cassandra complex ini terjadi di sekitar kita. Di mana segala kajian dan prediksi yang dilontarkan oleh mahasiswa dan para ahli tidak akan pernah dipercaya dan bahkan dibuang mentah-mentah oleh pemerintah.

Penulis: M Faiz Amirullah Nurhadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun