Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemindahan Ibu Kota RI: Langkah Tepat atau Pemborosan Uang?

29 Juni 2019   23:47 Diperbarui: 1 Juli 2019   09:56 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

665603-5d1976630d823036524184b2.jpg
665603-5d1976630d823036524184b2.jpg

Isu pemindahan ibu kota Indonesia. Hal ini sepertinya sudah tidak asing lagi bagi kita. 29 April 2019, Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Ia meminta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN / Bappenas), Bambang Brodjonegoro untuk memfinalisasi kajian pemindahan ibu kota.1 Selain itu, ia juga turun langsung ke dua daerah yang menjadi calon ibu kota baru Indonesia, yaitu Bukit Soeharto, Kalimantan Timur dan Palangka Raya, Kalimantan Tengah.2 Hal ini tentu menandakan keseriusan pemerintah dalam rencana pemindahan ibu kota ini. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pemindahan ibu kota ini benar-benar diperlukan atau justru hanya membuang-buang uang?

            Perlu diketahui bahwa langkah pemindahan ibu kota ini bukan merupakan wacana baru. Rencana ini telah ada semenjak zaman Presiden Soekarno. Pada tanggal 17 Juli 1957, Soekarno menancapkan tiang pancang bakal kota Palangka Raya dan berkata bahwa kota yang artinya 'Tempat Suci, Mulia, dan Agung' itu akan menjadi ibu kota negara. Hal ini juga ditindaklanjuti dengan perubahan desain kota dimana terdapat bundaran besar dengan sumbu delapan buah yang mirip dengan bentuk kota Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Sayangnya, rencana tersebut tidak terlaksana karena kondisi ekonomi dan politik saat itu. Wacana pemindahan ibu kota ini juga mencuat pada era Orde Baru dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Akan tetapi, tidak pernah ada tindak lanjut yang jelas dari wacana tersebut. Barulah saat masa pemerintahan Jokowi, tepatnya 29 April 2019 lalu, ia memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa dan diikuti dengan kunjungan ke dua daerah calon ibu kota, yaitu Bukit Soeharto dan Palangka Raya.1

            Seperti halnya pada setiap isu, terdapat perdebatan terhadap rencana pemindahan ibu kota ini. Salah satu argumen yang dilontarkan oleh pihak yang setuju terhadap rencana ini adalah mengenai daya dukung. Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, Jakarta sudah tidak memiliki daya dukung yang memadai sebagai ibu kota negara.3 Pernyataan ini juga dikuatkan oleh Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia, Mahawan Karuniasa, yang mengatakan bahwa Jakarta sering mengalami banjir, kemacetan, penurunan permukaan tanah, dan penurunan air tanah. Masalah tersebut hanya akan bertambah parah apabila jumlah penduduk Jakarta terus bertambah (15.328 jiwa/km2 saat ini).4

            Dari segi sanitasi, Direktur Utama Perusahaan Air Minum (PAM), Jaya Priyatno Bambang Hernowo, mengatakan bahwa distribusi air bersih di Jakarta hanya mencapai 60 persen penduduk.5 Masalah lain yang dialami oleh Jakarta adalah kemacetan. Menurut INRIX 2017 Traffic Scorecard, Jakarta berada di peringkat 12 dalam daftar kota termacet di dunia.6 Hal ini menimbulkan kerugian terhadap kemacetan yang mencapai Rp100 triliun sebagaimana dikutip dari Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta .7 Faktor lain yang penting untuk dipertimbangkan adalah persebaran penduduk dan pemerataan pembangunan. Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, mengatakan bahwa penduduk di Pulau Jawa mencapai 57 persen dari total penduduk Indonesia sedangkan di pulau lain seperti Sumatera, hanya mencapai 21 persen yang menandakan adanya ketimpangan penduduk. Pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa diharapkan akan mengatasi hal ini dan juga berpengaruh kepada program pemerataan pembangunan infrastruktur yang sedang dijalankan pemerintah. Pemindahan ibu kota pun dinilai berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi di Indonesial. Hal ini diperjelas dengan data BPS pada tahun 2018 dimana Pulau Jawa memberikan kontribusi sebesar 58,48 persen sedangkan Pulau Kalimantan hanya sebesar 8,20 persen.9 Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan bahwa pemindahan ibu kota akan berkontribusi dalam menciptakan kota metropolitan baru. Lebih lanjut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong, mengatakan bahwa pembangunan ibu kota baru dapat membuka kesempatan bagi pelbagai investor. Dengan estimasi anggaran sekitar Rp 466 triliun, rencana ini dapat menjadi kesempatan investasi yang sangat besar.3

            Namun, dimana ada pro, disitu pasti ada pihak-pihak yang menyangsikan hal ini. Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Achmad Hafidz Tohir, mempertanyakan urgensi pemindahan ibu kota yang dilakukan di saat angka kemiskinan masih tinggi, yakni pada persentase 9,82 persen penduduk Indonesia (BPS, Maret 2018) 10. Berdasarkan data BPS, rakyat miskin rata-rata hanya memiliki Rp11.000,00 per hari untuk hidup. Selain itu, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mengatakan bahwa waktu untuk rencana pemindahan ibu kota ini kurang tepat karena kondisi keuangan negara sedang sulit.3 Pemindahan ibu kota yang merupakan pekerjaan besar dinilai tidak mendesak untuk dilakukan di saat utang Indonesia mengalami pembengkakan dimana data dari Kementerian Keuangan per akhir Januari 2019 menyebutkan bahwa utang Indonesia mencapai Rp4.498,56 triliun.11 Mantan Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, juga mengatakan bahwa proses pemindahan ibu kota memerlukan persiapan yang matang dan terencana karena pemindahan ibu kota bukan hanya sekedar memindahkan kantor presiden, melainkan juga kantor-kantor pemerintahan lain seperti kantor kedutaan, kementerian, dan sebagainya.4

            Berdasarkan hal-hal diatas, kedua belah pihak memiliki alasan yang sahih. Melalui berbagai pertimbangan serta argumen yang ada, sekiranya gagasan pemindahan ibu kota ini dapat menjadi pintu gerbang perkembangan Indonesia selanjutnya yang mampu memperbaiki pemerataan pembangunan infrastruktur, persebaran penduduk, perkembangan ekonomi, dan meringankan beban Jakarta yang sudah terlalu berat sebagai ibu kota. Dalam hal kemiskinan dan kondisi keuangan negara, pemindahan ibu kota ini justru dapat menjadi katalis bagi perkembangan ekonomi daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan membuka kesempatan bagi investor-investor. Namun memang, seperti kata Pak Djarot, perlu diingat bahwa pemindahan ibu kota memerlukan perencanaan yang matang karena akan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji daerah calon ibu kota dari segala aspek, mulai dari aspek historis, demografis, geografis, kerentanan bencana, tata kota, masalah tahun menahun, dan multikulturalisme untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya masalah setelah pemindahan ibu kota. Dalam hal ini, pemerintah dapat berkaca pada kasus pemindahan ibu kota negara lain, contohnya Brasil dan Pakistan. Berbagai permasalahan di kota Rio mendorong Presiden Juscelino Kubitschek untuk merealisasikan rencana pemindahan ibu kota ke Brasilia yang merupakan daerah yang terletak di tengah negara Brasil. Agar tidak terus berkembang secara tidak teratur, Brasilia memiliki pre-fixed site, yaitu batas-batas ketat yang menyebabkan Brasilia tetap menjadi kota yang teratur dan kondusif sebagai ibu kota. Pemindahan ibu kota ini tentu tidak murah. Biaya pembangunan kota Brasilia disinyalir mencapai 19,5 miliar dolar Amerika Serikat. Akan tetapi, biaya tersebut setimpal dengan hasilnya. Sekarang, Brasilia menjadi kota yang rapi dan sangat kondusif sebagai ibu kota negara dan bahkan meningkatkan pemerataan akses, perkembangan ekonomi, dan persebaran penduduk di Brasil. Dari kasus ini, dapat dilihat pentingnya perencanaan matang pemindahan ibu kota. Jika diimplikasikan, calon ibu kota harus terletak di tengah Indonesia untuk mempermudah akses dari penduduk Indonesia di segala penjuru. Calon ibu kota juga harus memiliki rancangan tata kota yang jelas untuk menghindari perkembangan kota yang tidak terkendali. Faktor historis dan multikulturalisme pun menjadi penting. Dalam hal ini, kita dapat belajar dari Pakistan yang melakukan pemindahan ibu kota dari Karachi ke Islamabad dimana lokasi Karachi (kota pelabuhan) lebih mudah untuk diakses oleh warga Pakistan Timur dibandingkan dengan Islamabad (dekat pegunungan). Dari segi historis, perpindahan ini dianggap mengkhianati perjuangan Muhammad Ali Jinnah, pendiri Pakistan yang telah memilih Karachi sebagai ibu kota dan menyatukan Pakistan Timur dan Barat. Dari segi komposisi penduduk, Islamabad lebih homogen dibandingkan dengan Karachi. Hal ini memicu pecahnya Pakistan Timur menjadi Bangladesh. Dari kasus ini, perlu dipelajari bahwa calon ibu kota harus memiliki nilai historis yang kuat sebagai pengingat rakyat akan sejarah Indonesia. Monumen, museum, dan hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan harus dibangun untuk tetap menjaga jejak sejarah perjuangan Indonesia. Selain itu, dari segi multikulturalisme, calon ibu kota harus merepresentasikan keberagaman Indonesia.12 Memang, banyak faktor harus dikaji sebelum memindahkan ibu kota. Namun, hal ini diperlukan untuk memastikan ibu kota baru bukanlah kota dengan pelbagai permasalahan yang baru, melainkan sebuah kota yang kelak akan lebih baik dari Jakarta dari segala aspek dan dapat menyelesaikan pelbagai permasalahan yang ada saat ini.

Referensi:

  1. Arela GF. Pemindahan ibu kota dari Sukarno sampai Jokowi [Internet]. Jakarta: detikcom; 2019 Jun 11 [cited 2019 Jun 16]. Available from: https://x.detik.com/detail/investigasi/20190610/Pemindahan-Ibu-Kota-dari-Sukarno-sampai-Jokowi/
  2. Stevani EG. Jokowi kunjungi dua calon ibu kota, Bukit Soeharto dan Palangkaraya, calon mana pilihan presiden? [Internet]. Kalimantan Timur: Tribun Kaltim; 2019 May 8 [cited 2019 Jun 16]. Available from: https://jatim.tribunnews.com/2019/05/08/jokowi-kunjungi-dua-calon-ibu-kota-bukit-soeharto-dan-palangkaraya-calon-mana-pilihan-presiden
  3. Pratomo HB. 5 pro dan kontra rencana pemindahan ibu kota Presiden Jokowi [Internet]. Jakarta: merdeka.com; 2019 May 5 [cited 2019 Jun 16]. Available from: https://www.merdeka.com/uang/5-pro-dan-kontra-rencana-pemindahan-ibu-kota-presiden-jokowi/ibu-kota-pindah-saat-kemiskinan-masih-tinggi.html
  4. Rizal. Rencana pemindahan ibukota, solusi atau menambah masalah? [Internet]. Jakarta: IDN News; 2017 Jul 5 [cited 2019 Jun 16]. Available from: https://www.idntimes.com/news/indonesia/rizal/rencana-pemindahan-ibukota/full
  5. Guritno T. PAM Jaya: 40 persen warga Jakarta belum nikmati air bersih [Internet]. Jakarta: Kompas.com; 2019 Mar 22 [cited 2019 Jun 16]. Available from: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/03/22/13301601/pam-jaya-40-persen-warga-jakarta-belum-nikmati-air-bersih
  6. Cookson G. INRIX global traffic scorecard. Washington: INRIX Research; 2018 Feb.
  7. Gumiwang R. Jokowi sebut rugi akibat macet Rp65 triliun, dari mana asalnya? [Internet]. Jakarta: tirto.id; 2019 Jan 14 [cited 2019 Jun 16]. Available from: https://tirto.id/jokowi-sebut-rugi-akibat-macet-rp65-triliun-dari-mana-asalnya-dea1
  8. Badan Pusat Statistik. Kepadatan penduduk menurut provinsi, 2000-2015 [Internet]. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2019 [cited 2019 Jun 16]. Available from: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/842
  9. Badan Pusat Statistik. Ekonomi Indonesia 2018 tumbuh 5,17 persen. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2019 Feb 6.
  10. Badan Pusat Statistik. Persentase penduduk miskin Maret 2018 turun menjadi 9,82 persen. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2018 Jul 16.
  11. CNN Indonesia. Awal 2019, utang pemerintah nyaris tembus Rp4.500 triliun [Internet]. Jakarta: CNN Indonesia; 2019 Feb 20 [cited 2019 Jun 16]. Available from: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190220200502-532-371206/awal-2019-utang-pemerintah-nyaris-tembus-rp4500-triliun
  12. Tawazun I, Mahakarya B. Antara Jakarta, Karachi, dan Rio de Janeiro. Depok: Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia; 2019.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun