Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bashar Al-Assad Sahkan UU Awasi Ulama: Dapatkah Diterapkan di Indonesia?

24 Oktober 2018   14:09 Diperbarui: 24 Oktober 2018   20:46 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Suriah, Bashar al-Assad, baru saja menandatangani UU yang mengatur mengenai perluasan kementerian agama setempat mengenai peribadatan Islam setempat. Adapun penandatanganan peraturan tersebut dilakukan tanggal 13 Oktober 2018.

Kementrian Pemberdayaan Agama Suriah , atau yang biasa disebut Awqaf atau Waqf, adalah Lembaga yang ditunjuk oleh presiden untuk mengurus persoalan agama setempat, terutama Islam Sunni yang menjadi mayoritas di negeri tersebut.

Waqf ini nantinya akan memiliki peran dalam memilih Grand Mufti, atau mufti pimpinan, di Suriah. Sebelumnya, presiden yang memiliki wewenang ini. Selain itu, jabatan ini juga akan dibatasi menjadi periode 3 tahun, dengan catatan Grand Mufti bisa dipilih kembali. Sebelumnya, jabatan ini akan dipegang seumur hidup. Waqf juga akan mengawasi madrasah-madrasah setempat, memipin konsil mengenai Fiqh, dan meregulasikan dakwah di berbagai media.

Peraturan baru ini juga akan melarang para pemuka agama untuk secara bebas mengikuti konfrensi, bahkan yang berada di dalam negeri sekalipun, tanpa adanya persetujuan dari menteri Waqf tersebut. Para pemuka agama tersebut juga tidak diperkenankan untuk keluar negeri tanpa persetujuan dari menteri Waqf.

Peraturan ini juga melarang penggunaan platform dakwah "untuk kegiatan politik" dan dakwah mengenai ajaran-ajaran sektarian, sehingga diharapkan tidak muncul fanatisme dan berujung pada pembentukan ajaran ekstremis.

Hal ini menimbulkan kontroversi yang cukup besar di Suriah. Pasalnya, kini pemerintahan dianggap bisa mengatur permasalahan agama. Di sisi lain, pendukung peraturan tersebut menganggap bahwa hal tersebut bisa membantu melawan terjadinya ekstrimisme. Perlu diingat bahwa Suriah, yang kini masih berada dalam perperangan, pernah dijajaki oleh ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Peraturan ini, menurut mereka, bisa meminimalisir kejadian seperti itu, dan mencegah munculnya ketidakstabilan lebih lanjut di Suriah. Diharapkan juga tidak terjadi perluasan jurang antar pemeluk agama.

Di sisi lain, agama yang diatur oleh pemerintah bisa dijadikan bahan propaganda bagi pemerintah. Keluarga Al Assad, yang notabene berasal dari Syi'ah Alawi, bisa mengontrol populasi yang mayoritas adalah Sunni. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan mengenai objektivitas Waqf tadi, apalagi Waqf tersebut nantinya adalah orang pilihan Al-Assad. Ditakutkan pula "usaha pengontrolan berlebih" tersebut akan dieksploitasi pemerintah untuk kepentingan sendiri.

Di Indonesia sendiri, Kementrian Agama mempunyai tugas untuk menyelenggarakan urusan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Secara singkat, ada beberapa poin dari peraturan baru dari Pemerintah Suriah tadi yang telah diterapkan oleh Kementerian Agama di Indonesia, seperti pelaksanaan pendidikan yang diatur oleh Kementerian Agama.

Sedangkan, Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi yang "mengayomi kaum muslimin di Indonesia". Ia berfungsi untuk mengatur sebagian lain yang tidak diatur oleh Kementerian Agama, seperti fatwa dan sertifikasi halal makanan. Adapun organisasi ini bersifat independen, jadi bukan sebagai bagian dari pemerintahan, walaupun tetap bekerja sama dengan pemerintah dan dianggap sebagai lembaga yang valid dan diakui dalam kolaborasinya dengan pemerintah.

Kementerian Agama sempat mengeluarkan daftar 200 mubalig yang direkomendasikan. Adapun sebenarnya daftar ini tidak mengatur apapun dan tidak bisa menjadi tolak ukur yang terstandarisasi mengenai persebaran ulama yang makin "menggeliat" di Indonesia. Karena, pada kenyataanya, tidak ada regulasi mengenai siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh menjadi mubalig, setidaknya pada standar nasional. 

Karena pada kenyataanya, rekomendasi ini tidak memberikan konsekuensi apapun bagi mubalig yang namanya tidak dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Pengurus Besar Nadathul Ulama (PBNU) malah menginginkan pemerintah untuk mengeluarkan nama-nama ulama yang seharusnya dilarang untuk berdakwah.

Konsekuensi yang dirasakan dari lemahnya peranan pemerintah dalam bentuk Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia selaku "pengayom seluruh muslim di Indonesia" adalah bentroknya berbagai macam organisasi masyarakat dan masyarakat lokal. 

Organisasi masyarakat banyak yang dirasa meresahkan dan justru menimbulkan perpecahan karena memaksakan ideologinya sampai menimbulkan bentrok dan kerusakan. 

Ambil contoh FPI dan berbagai macam lagaknya dan tentangan yang mereka terima di Indonesia. Satu kasus yang akan diangkat adalah bentroknya LPI selaku organisasi bawahan FPI dengan warga lokal di Pamekasan, Madura pada 19 Januari 2018. LPI dianggap sok tahu dan asal melakukan sweeping tanpa bukti yang jelas. Akibatnya, bentrok pecah dan korban timbul di kedua belah pihak.

Selain itu, banyak sekali contoh dakwah yang sifatnya menyerang dan menimbulkan rasa sektarianisme yang dicoba untuk dihentikan oleh Pemerintah Suriah, yang kini sangat prevalen di Indonesia.

 Tetapi, pemerintah sebagai otoritas negara tidak seharusnya mengatur hal tersebut, karena akan adanya anggapan bahwa pemerintah akan mengontrol dan memaksakan kehendak mengenai agama. 

Dibutuhkan organisasi independen seperti MUI yang seharusnya bisa mengeluarkan fatwa seperti ini. Tetapi, kenyataannya tidak kunjung muncul pembatasan seperti ini. Suara-suara toa yang menyerukan Indonesia untuk menjadi khilafah tetap mengiang di kuping masyarakat. Sebagai negara yang seharusnya dianggap toleran, intoleransi harus bisa disingkirkan, karena toleran bukan hanya demi kepentingan mayoritas, tetapi demi kepentingan bersama, demi kesatuan bersama, demi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun