Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Cukai Rokok sebagai Tambalan Defisit BPJS Kesehatan, Solusi yang Tepat?

19 Oktober 2018   16:48 Diperbarui: 19 Oktober 2018   18:07 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Rabu (19/9/2018) lalu, Presiden Joko Widodo alias Jokowi telah mentandatangani Peraturan Presiden atau Perpres terkait penggunaan dana cukai rokok dari penerimaan daerah. Alokasi ini dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pada perpres ini, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) atau cukai rokok sebesar 5 triliun akan dialokasikan untuk mengatasi defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang menurut kajian BPKP, mencapai Rp10,9 triliun.

Pengalokasian dana cukai rokok ke upaya pelayanan kesehatan bukan pertama kalinya dilakukan. Lantas, apakah cara ini efektif dalam menambal defisit BPJS Kesehatan? Terlebih lagi, apakah pengalokasian dana ini dapat sejalan dengan upaya meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia?

Defisit BPJS

Badan Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS) Kesehatan telah mengalami defisit dari awal pembentukannya pada 2014 lalu. Pada tahun pertama, BPJS mengalami defisit sebesar Rp3,3 triliun. Lalu pada tahun kedua, defisit meningkat hingga Rp5,7 triliun. Pada tahun ketiga dan keempat kembali terjadi pembengkakan defisit sebesar Rp9,7 triliun dan Rp9,75 triliun. Pada kondisi terakhir, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan atau BPKP memproyeksikan defisit BPJS pada tahun 2018 sebesar Rp10,9 triliun, berbeda Rp 5,6 triliun dari proyeksi manajemen atas BPJS Kesehatan.

Akar permasalahan dari pembengkakan defisit BPJS Kesehatan ini sederhana: ketidaksesuaian pendapatan dan pengeluaran. Direktur utama BPJS Kesehatan, Prof. Dr. dr. Fachmi Idris, M.Kes, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI (18/9/2018) menyatakan bahwa besar klaim yang dibayar perusahaan selalu lebih besar dari yang diterima pesertanya. Iuran BPJS yang tergolong rendah (Rp25.500 perbulan untuk golongan III) dianggap tidak mampu menyeimbangkan neraca.  Ditambah lagi, sebanyak 119,6 juta dari 203,2 Juta peserta BPJS merupakan Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang pembayarannya ditanggung oleh Pemerintah Pusat melalui APBN atau Pemerintah Daerah melalui APBD.

Karena BPJS menggunakan sistem anggaran berimbang, di mana pos pengeluaran harus sama dengan pos penerimaan, defisit tidak dapat dihindarkan karena memang besaran iuran saat ini belum sesuai dengan hitungan aktuaria.

(Bukan) Solusi Baru

Defisit anggaran pada BPJS Kesehatan bukanlah masalah baru, maka pemerintah sebetulnya telah melakukan berbagai upaya untuk menekan defisit yang kian membengkak ini. Upaya pemerintah yang telah dilakukan di antaranya adalah dengan menyuntik dana tambahan berupa Penyertaan Modal Negara (PMN), menerbitkan beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) seperti PMK 193/2017 tentang intersep tunggakan iuran Pemda, PMK No. 222/2017 tentang penggunaan DBH CHT, dan PMK 209/2017 tentang Besaran Presentase Dana Operasional, serta mengalokasikan dana cadangan sebesar Rp4,9 triliun dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) untuk menambal defisit BPJS.

Dari internal BPJS Kesehatan juga sudah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran. Salah satu di antaranya adalah perbaikan manajemen klaim fasilitas kesehatan berupa mitigasi (fraud). Selain itu, perubahan sistem rujukan dan rujuk balik dengan sistem daring (online) yang ditargetkan dapat menghemat Rp1,74 triliun juga telah dikembangkan. Terakhir, penerbitan Perdirjampelkes No. 2,3, dan 5 tentang penjaminan pelayanan kesehatan untuk Katarak, Rehabilitasi Medik, dan Bayi Baru Lahir Sehat yang kontroversial juga dilakukan, walaupun diisukan untuk dicabut oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Prof. Dr. dr. Nila Moeloek karena tidak sesuai dengan upaya peningkatan taraf kesehatan rakyat Indonesia.

Upaya pengalokasian dana cukai rokok ke pelayanan kesehatan bukan pertama kalinya dilakukan, bahkan di Indonesia. Di Pasal 31 UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), penerimaan pajak rokok dialokasikan paling kecil 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum. Yang berbeda pada Perpres yang baru adalah besarannya. Dalam Pasal 100 ayat 1 Bab XII Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, disebutkan kontribusi pajak rokok dari pemerintah daerah adalah sekitar 75% dari 50% total realisasi penerimaan pajak rokok.

Kasbudit Tarif Cukai Ditjen Bea dan Cukai Sunaryo mengatakan bahwa dengan asumsi total penerimaan cukai adalah Rp148 triliun, tarif pajak rokok yang besarnya kurang lebih 10% dari penerimaan cukai sebesar Rp14 triliun. Jika ditaksir dengan peraturan yang baru, maka sekitar Rp5 triliun dapat menjadi dana sokongan tambahan untuk menambal defisit BPJS. Angka ini jauh lebih tinggi daripada penggunaan DBH CHT sebesar Rp1,48 triliun melalui Peraturan Menteri Keuangan NO. 222/2017.

Jika dibandingkan di ASEAN sendiri, ada 3 negara yang menggunakan pajak/cukai rokok untuk kepentingan kesehatan, yaitu Filipina, Thailand, dan Indonesia.

Filipina merupakan negara yang termasuk jor-joran dalam penerapan sistem alokasi pajak tembakau untuk kesehatan yang biasa disebut sin tax ini. Sistem alokasi pajak pada Filipina tidak terbatas pada cukai tembakau saja, namun juga pada minuman beralkohol. Tidak main-main, kenaikan pajak rokok di Filipina mencapai 340%, dengan kenaikan rata-rata harga rokok dari PhP21.12 (sekitar Rp6.000) menjad PhP 31.26 (sekitar Rp8.800). Dengan adanya reformasi sin tax ini, pemerintah Filipina berhasil meraup hingga 2,307 miliar Dollar Amerika (sekitar 35 triliun Rupiah) pada tahun pertama penerapan sistem pajak ini.

Kabar baik tidak hanya berhenti di situ -- berdasarkan National Nutrition Survey, prevalensi perokok pada populasi kelompok usia 18-24 tahun mengalami penurunan signifikan (dari 35% ke 18%). Hal ini tentu menunjukkan efektivitas penaikkan pajak rokok dalam mengurangi prevalensi perokok di kalangan muda, yang pada beberapa dekade mendatang berpotensi membebani sistem kesehatan nasional dengan penyakit tidak menular akibat faktor risiko merokok.

Selain Filipina, negara tetangga Thailand juga menerapkan pajak dosa ini. Dengan dibentuknya Thai health Promotion Foundation, pemerintah Thailand juga mampu menyisihkan sekitar 2 miliar baht setara 60 juta dollar Amerika.

Dari bukti pelaksanaan alokasi pajak rokok di berbagai negara, sekiranya penerapan kebijakan yang sama di Indonesia merupakan langkah yang tepat. Tidak hanya membantu memasok dana Sistem Kesehatan Nasional yang defisit, kebijakan ini juga mampu memangkas perokok usia muda yang menjadi cikal bakal lingkaran setan dari defisit BPJS itu sendiri.

-Abiyyu Siregar-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun