Siapa guru favorit kalian waktu sekolah dulu? Pertanyaan ini merujuk kepada cara pengajarannya. Di masa TK, SD, SMP, atau SMA?
Sejauh ini, Ibu Sri Samisih--Guru Matematika, dan Frau Ugi--Guru Bahasa Jerman semasa SMA, masih menempati urutan tertinggi dalam memori saya. Mereka selalu mengajarkan dengan taktis: membuat penjelasan rumit menjadi mudah dipahami. Meskipun mereka galak.
Lalu, kenapa hanya dua guru yang berkesan bagi saya, di antara puluhan guru yang pernah mengajar? Bagaimana dengan kalian? Apa mengalami hal serupa? Apa ini hanya masalah "selera" saja?
Dulu, saya sering memberi toleransi dengan kalimat "oh wajarlah, jangan generalisasi Re, kan gak semua kemampuannya sama", untuk sementara menutupi beberapa rasa penasaran saya yang belum terjawab. Namun, setelah banyak mengobrol dan curi dengar. Pendidikan adalah sistem--dan boleh sekali melakukan evaluasi serta kritik, jika ada hal yang dirasa kurang sesuai.
Saya harus selalu sadar, nyatanya pendidikan seluas dan semenarik ini. Kita [khususnya yang bergerak di bidang pendidikan], perlu sekali memikirkannya lebih serius dan berbuat semaksimal apapun yang kita bisa. Harus! Pendidikan Indonesia, benar-benar butuh dirangkul. Saya coba bahas salah satunya.
Dalam tulisan Doni Koesoema di Koran Kompas, 8 September 2020 berjudul: Mentransformasi Guru. Dikatakan bahwa kebijakan sertifikasi guru yang memberikan tunjangan sebesar satu kali gaji membuat keinginan anak muda menjadi guru sangat tinggi. Akibatnya, lebih dari 1 juta mahasiswa, membludak menjadi calon guru.
Jika dilihat dari jumlah, sungguh sangat menggembirakan. Betapa banyaknya bibit pengajar yang akan hadir di masa depan. Apakah kegembiraan ini sungguhan? Terlebih, kurikulum Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dianggap kurang relevan dengan dinamika perubahan zaman serta kemajuan teknologi sebagai proses pembelajaran.
Selain itu, lima tahun lagi, sekitar 185.000 guru SD, 60.000 guru SMP, 23.000 guru SMA, dan 12.000 guru SMK akan pensiun. Secara jumlah, mungkin akan mudah melakukan regenerasi--dapat terpenuhi jika dilihat dari mahasiswa calon guru.
Tapi, kita tidak boleh lupa kalau regenerasi perlu persiapan--melalui sistem seleksi yang obyektif dan kompetitif untuk memilih guru terbaik. Belum lagi, dibayang-bayangi keberadaan guru honorer yang memiliki sumbangsih besar--dan memiliki hak juga menjadi PNS.
Guru dan mahasiswa calon guru sudah seharusnya mendapat perhatian lebih. Pembiaran ini sudah terlalu lama. Harus menunggu berapa generasi lagi? Sudah saatnya penggarapan secara tekun, bukan hanya memindahkan pembelajaran cara lama berkedok "tampilan teknologi" saja.
Guru dan mahasiswa calon guru butuh pendampingan untuk berinovasi. Sediakanlah pelatihan beserta praktik nyata dan wadah bagi mereka untuk belajar bersama.
Bukan hanya untuk [sebagian] seperti yang sudah dilakukan dalam Program Organisasi Penggerak (POP), tapi buatlah yang bisa dijangkau oleh [semua]. Jadikanlah [semua] guru, punya kesempatan yang sama untuk memiliki kualitas terbaik.
Terakhir, ucapan terima kasih untuk Pak Nadiem. Programnya selama menjabat Mendikbud sangatlah bagus dan mengisi dunia pendidikan dengan warna baru--di tengah tantangan rumit pandemi ini.
Tapi, menurut saya [yang bukan siapa-siapa], sepertinya ada beberapa proses terlewat, untuk penyelesaian masalah pendidikan yang sesungguhnya. Regenerasi guru, salah satunya.
--
**Tulisan ini hanya opini. Penulis tidak menggiring pembaca untuk menyetujui isi tulisan ini. Penulis hanya mencoba mengungkapkan keresahan yang dialaminya. Sebab, penulis menjadi susah tidur. Hehe.
Renita Yulistiana
Cuma netizen yang suka komplain
Depok, 2020